"Ismail, aku tidak bisa menerima cintamu kecuali kamu mau meninggalkan agamamu dan masuk Katolik," kata Helena dengan lembut namun tegas.
Ismail terdiam. Keputusan itu tidak mudah baginya. Agamanya adalah bagian penting dari hidupnya, dan ia tahu bahwa perubahan besar ini akan membawa banyak konsekuensi.
"Aku butuh waktu untuk memikirkannya, Helena," jawab Ismail dengan suara bergetar.
Namun, takdir berkata lain. Kesibukan Ismail dengan proyek-proyeknya membuatnya sulit melanjutkan masa pembinaannya di Gereja Katolik. Helena terus menunggu dengan setia, meski hatinya diliputi keraguan.
Suatu malam, di bawah bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit Jayapura, Helena berbicara dengan mamanya melalui telepon.
"Ibu, Ismail terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar serius," kata Helena dengan suara serak. "Sabarlah, Nak. Cinta butuh waktu dan pengorbanan," jawab mamanya lembut.
Namun, waktu terus berlalu tanpa kabar dari Ismail. Helena merasa hatinya hancur, tetapi ia tidak mau menyerah pada keputusasaan. Hingga akhirnya, ia bertemu dengan Stefanus, seorang konsultan pajak yang beragama Katolik. Stefanus adalah pria yang bertanggung jawab, penuh perhatian, dan selalu siap berkorban untuk Helena.
"Stefanus, aku takut untuk mencintai lagi. Hatiku sudah terlalu sering terluka," kata Helena suatu hari.
"Helena, aku tidak akan menyakitimu. Aku di sini untuk mencintaimu dan melindungimu," jawab Stefanus dengan lembut.
"Helena, aku mencintaimu dengan segenap hatiku," kata Stefanus suatu malam, di bawah sinar bulan yang lembut.
"Aku juga mencintaimu, Stefanus. Aku tahu bahwa kamu adalah orang yang tepat untukku," jawab Helena dengan air mata bahagia.