Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja Terakhir

2 Juli 2024   08:50 Diperbarui: 2 Juli 2024   12:44 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja mulai merayap di cakrawala, mengantarkan hari menuju peraduan malam. Angin berdesir lembut, menyusup di celah-celah dedaunan yang mulai merunduk lesu. Di kejauhan, burung-burung terbang kembali ke sarang, seolah membawa pesan dari langit. Nina duduk di beranda rumahnya, menikmati suasana senja yang perlahan berubah menjadi malam. Langit yang berwarna jingga keemasan tampak seperti kanvas yang dilukis dengan sapuan warna cinta dan harapan.

"Selamat sore, Tuhan. Hamba bersyukur atas hari ini," batinnya berbisik lembut, mengucap syukur atas anugerah-Nya yang tak terhingga. Biarlah doanya mengalun bagai melodi indah yang menyentuh hati, menembus batas-batas dunia fana. Nina merasa damai sejenak, meresapi keindahan alam yang selalu setia menemani.

Setelah hening dalam doa, Nina melangkah keluar dari ruangan, merasakan dingin yang mulai menyelimuti. Ia menatap dapur kecil di sudut rumah, mencari-cari sesuatu untuk mengganjal perut yang keroncongan.

"Adakah rezeki yang tersisa untuk malam ini?" tanyanya dalam hati, berharap menemukan sisa-sisa makanan. Namun, hanya panci kosong yang menyambut tatapannya. Rasa cemas mulai merayapi hatinya.

"Bu, aku lapar," suara anaknya, Rania, memecah keheningan, menggenggam erat tangannya yang mulai bergetar.

"Bersabarlah, Sayang," jawabnya, menyembunyikan kekhawatiran di balik senyum tipis. Ia melangkah ke luar, menelusuri halaman kecil yang gelap, mencari sesuatu yang mungkin tersembunyi di antara bayang-bayang malam.

"Pasti ada jalan," pikirnya, menguatkan hati yang mulai gundah. Di sudut taman, ia melihat pohon mangga yang dulu sering berbuah lebat. Mungkinkah ada satu yang tersisa?

Dengan harapan yang terbit kembali, Nina mendekati pohon itu. Namun, hanya dedaunan kering yang berguguran, tanpa satu pun buah yang tersisa.

"Maafkan aku, Sayang," ucapnya pelan, merasakan air mata yang mulai menggenang di pelupuk. Tetapi ia tak boleh menyerah. Di dalam lumbung, mungkin masih ada sekarung beras yang tersisa sejak panen tahun lalu.

"Semoga masih ada," harapnya, menapaki langkah terakhir dengan hati-hati. Dan Tuhan mendengar doanya. Sekarung beras itu masih ada, cukup untuk mengganjal perut mereka malam ini.

"Terima kasih, Tuhan," bisiknya penuh syukur, membawa sekarung beras ke dapur. Anaknya bersorak gembira, tak menyadari perjuangan di balik senyumnya.

"Syukurlah, malam ini kita bisa makan dengan cukup," katanya dalam hati, merasa lega meski hanya untuk sesaat. Semoga esok hari, Tuhan memberiku kekuatan yang sama untuk menghadapi hari baru.

Malam itu, setelah makan malam sederhana, Nina duduk di beranda rumah, merenungi perjalanan hidup yang penuh liku. Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Itu Bapak Desa, Pak Johanes, yang dikenal dengan bijaksananya. "Selamat malam, Bu Nina," sapanya lembut.

"Selamat malam, Pak Johanes. Silakan duduk," jawab Nina, mempersilakan beliau duduk di bangku kayu yang sudah mulai lapuk.

"Bagaimana keadaan kalian, Bu Nina?" tanya Pak Johanes dengan sorot mata penuh perhatian.

"Puji Tuhan, Pak. Kami masih diberi kekuatan," jawabnya dengan senyum yang terpaksa.

Pak Johanes menghela napas panjang. "Saya dengar dari tetangga, kalian sedang kesulitan. Desa ini memang sedang dilanda masa sulit, tapi kita harus saling membantu."

"Terima kasih, Pak Johanes. Kami akan baik-baik saja," jawab Nina meski dalam hati ia tahu betapa beratnya situasi ini.

Esok harinya, ketika fajar mulai menyingsing, Nina kembali ke ladang kecil di belakang rumah. Saat sedang memeriksa tanaman singkong, tiba-tiba ia mendengar suara yang dikenal. Itu Narti, sahabat lamanya yang kini tinggal di desa sebelah. "Nina! Aku membawa sedikit sayuran dari kebunku. Semoga bisa membantu," katanya dengan senyum lebar.

"Terima kasih, Narti. Kamu selalu baik," jawab Nina sambil memeluknya erat. "Bagaimana kabarmu? Sudah lama kita tak bertemu."

Narti mengangguk. "Aku baik, Nina. Tapi aku tahu kau sedang berjuang keras. Kita harus saling membantu di masa sulit ini. Jangan ragu untuk datang ke rumah jika membutuhkan sesuatu."

Hari itu berlalu dengan cepat. Di puskesmas, Nina bertemu dengan Bu Sri, bidan desa yang selalu sigap membantu. "Nina, anak-anak sehat?" tanyanya sambil memberikan beberapa vitamin.

"Syukurlah, Bu Sri. Rania masih sehat, meski kami sering kekurangan makanan bergizi," jawab Nina.

Bu Sri menatapnya dengan iba. "Nina, jangan sungkan. Jika kau butuh sesuatu, datanglah ke puskesmas. Kami akan membantu sebisa mungkin."

Senja kembali datang, membawa langit yang berwarna jingga dan merah muda. Sambil menatap matahari terbenam, Nina merasakan hangatnya kasih Tuhan dan orang-orang di sekitarnya.

Satu malam, di saat hujan deras turun membasahi bumi, ada ketukan di pintu. Nina membuka pintu dan melihat Pak Johanes berdiri basah kuyup. "Nina, ada kabar buruk. Sungai meluap dan banyak rumah terendam. Desa kita membutuhkan bantuan segera," katanya dengan nada cemas.

Nina segera bergegas membantu evakuasi warga bersama para tetangga. Mereka bekerja sepanjang malam, mengamankan barang-barang dan mencari tempat yang lebih tinggi. Di tengah kekacauan itu, Nina melihat semangat kebersamaan yang luar biasa. Setiap orang berjuang bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk sesama.

Ketika fajar menyingsing, desa mereka masih dilanda banjir, tapi ada harapan yang tak pernah pudar. Dengan bantuan Pak Johanes, Narti, Bu Sri, dan banyak orang lainnya, mereka saling menopang dan menguatkan.

Beberapa hari kemudian, air surut dan kehidupan mulai kembali normal. "Ibu, lihat! Sawah kita mulai pulih," seru Rania dengan riang.

Nina tersenyum, merasakan hangatnya kebahagiaan yang sederhana. "Iya, Sayang. Kita akan terus berjuang. Tuhan selalu bersama kita," jawabnya sambil mengelus kepala putrinya.

Setiap senja yang datang membawa harapan baru, dan Nina tahu bahwa selama ada cinta dan kebersamaan, mereka akan mampu menghadapi segala rintangan. Desa kecil mereka, meski dilanda banyak cobaan, selalu menemukan cara untuk bangkit dan tersenyum kembali.

Tiga bulan kemudian, desa telah kembali pulih. Kebun-kebun kembali menghijau, dan sawah-sawah menguning. Hari-hari penuh perjuangan kini berganti dengan semangat untuk membangun kembali. Pada suatu pagi, Nina dan Rania sedang memetik sayuran di kebun kecil mereka ketika Bu Sri datang dengan kabar gembira.

"Nina, ada donasi dari kota. Mereka memberikan bibit-bibit baru dan pupuk untuk para petani desa," kata Bu Sri dengan wajah berseri-seri.

"Syukurlah, Bu Sri. Ini benar-benar bantuan yang sangat berarti bagi kami," jawab Nina dengan penuh syukur.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Nina semakin sibuk dengan kegiatan di puskesmas dan ladang. Di sela-sela kesibukannya, ia sering merenung tentang betapa kuatnya ikatan mereka di desa ini. Suatu sore, ketika senja mulai mengintip di balik pepohonan, Pak Johanes datang lagi. Kali ini dengan wajah penuh haru.

"Nina, desa kita dipilih menjadi desa percontohan. Kerja keras kita semua tidak sia-sia," katanya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Puji Tuhan, Pak Johanes. Ini berkat kerja keras dan kebersamaan kita semua," jawab Nina sambil menahan air mata bahagia.

Senja itu terasa lebih hangat dari biasanya. Bukan hanya karena matahari yang perlahan tenggelam, tapi karena hati mereka yang penuh dengan harapan dan kebahagiaan. Nina tahu, di setiap senja yang datang, selalu ada cerita tentang perjuangan, harapan, dan cinta. Dan di bawah langit yang sama, mereka akan terus melangkah, bersama-sama, menyongsong hari esok dengan senyum yang lebih lebar dan hati yang lebih kuat.

Dan ketika malam menutup tirai hari, Nina merasakan ketenangan yang mendalam. Dia tahu bahwa setiap perjuangan, setiap doa, dan setiap senyum yang tulus adalah bagian dari perjalanan hidup yang indah. Dengan tekad yang baru, dia menatap bintang-bintang, yakin bahwa masa depan mereka akan semakin cerah, diiringi senja yang tak pernah lelah memberikan harapan. Angin malam berhembus lembut, menyapu daun-daun kering. (*)


Merauke, 2 Juli 2024

Agustinus Gereda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun