Sebagaimana orang Lamaholot lain di Lembata atau Flores Timur, NTT, masyarakat Atadei menyimpan tradisi tenun sarung yang berlangsung selama berabad-abad, termasuk kain lipa (nowing) untuk laki-laki. Kerajinan ini tidak hanya menjadi warisan budaya yang bernilai tinggi, tetapi juga simbol martabat perempuan di wilayah itu.
Setiap helai sarung ditenun dengan penuh ketelatenan oleh perempuan penenun. Motif dan corak yang dihasilkan mencerminkan filosofi hidup, cerita rakyat, dan identitas masyarakat.
Di tengah arus modernisasi, upaya pelestarian dan pengembangan tradisi tenun menjadi penting. Dengan demikian, kita tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga memperkuat identitas lokal dan martabat perempuan.
Dalam tulisan ini, yang dimaksud masyarakat Atadei adalah mereka yang mendiami Kecamatan Atadei, seperti Lamanuna, Lerek, Tobilolong, Atawawolo, Watuwawer, Lewogroma, Bauraja, Waiwejak, Karangora, Kalikasa, Bakan, dan lain-lain. Termasuk sebagian yang berasal dari budaya yang sama, tetapi sekarang berada di Kecamatan Wulandoni, khususnya Kenotan dan Kahatawa.
Proses Pembuatan Tenunan Tradisional
Proses pembuatan tenunan tradisional dalam masyarakat Atadei mengikuti beberapa langkah yang telah menjadi bagian dari tradisi dan budaya setempat. Bahkan, prosesnya melibatkan tindakan ritual tertentu.
Pertama, penanaman dan pemanenan kapas.
Proses ini dimulai dengan penanaman kapas oleh masyarakat lokal. Kapas merupakan bahan baku utama untuk pembuatan benang. Setelah tumbuh dan berkembang, tanaman kapas dipanen untuk diolah lebih lanjut.
Kedua, pengolahan kapas.
Setelah dipanen, kapas diolah untuk mendapatkan serat yang dapat digunakan untuk pembuatan benang. Proses pengolahan ini meliputi penggulungan kapas, pembersihan dari biji-bijian yang tidak diinginkan, dan pemisahan serat-serat kapas.
Ketiga, pemintalan benang.
Serat kapas yang sudah bersih kemudian dipintal menjadi benang menggunakan alat-alat tradisional, bukan mesin. Proses pemintalan membutuhkan keterampilan khusus dan ketelitian untuk mendapatkan benang yang kuat dan seragam.
Keempat, pembuatan pola dan pengikatan.
Setelah benang dipintal, langkah selanjutnya menyiapkan pola dan melakukan pengikatan untuk menentukan motif yang akan dihasilkan dalam tenunan (mowak). Pengikatan benang ini dilakukan dengan tangan menggunakan teknik ikat tertentu, dan disesuaikan dengan motif yang telah menjadi tradisi turun-temurunkan.
Kelima, pewarnaan benang.
Setelah benang diikat sesuai dengan pola, langkah berikutnya adalah pewarnaan. Pewarnaan tradisional sering menggunakan bahan alami seperti tanaman (taum) dan akar mengkudu (klore) untuk menghasilkan warna-warni yang alami dan tahan lama.
Keenam, proses tenun.
Setelah benang-benang diikat dan diwarnai, dimulai proses tenun menggunakan alat sederhana. Proses tenun ini membutuhkan keahlian khusus untuk menghasilkan kain dengan motif yang sesuai dengan pola yang telah diikat sebelumnya.
Ketujuh, penyelesaian dan finishing.
Setelah proses tenun selesai, kain yang telah jadi diolah lebih lanjut untuk mendapatkan hasil akhir yang berkualitas. Ini termasuk pemotongan ujung kain (kecuali tenunan sarung untuk adat perkawinan, petek hare), pembuatan pinggiran, dan proses finishing lainnya sesuai dengan tradisi lokal.
Makna Sosial dan Budaya
Kerajinan tenun bagi seorang perempuan memiliki makna sosial dan budaya dalam konteks masyarakat Atadei. Berikut, beberapa makna sosial dan budaya dari kerajinan menenun bagi seorang perempuan Atadei.
Pertama, sejarah dan tradisi.
Tenun sarung telah menjadi tradisi turun-temurun dalam masyarakat Atadei sejak berabad-abad yang lalu. Kerajinan ini diwariskan dari generasi ke generasi. Sarung tenun ini memiliki motif dan corak yang khas, mencerminkan identitas budaya dan keunikan masyarakat setempat.
Kedua, simbol keahlian dan kerajinan perempuan.
Proses tenun sarung membutuhkan keahlian, ketekunan, dan kerajinan yang tinggi. Perempuan Atadei telah menguasai keterampilan ini sejak usia dini. Kemampuan untuk menenun sarung yang indah dan berkualitas tinggi, apalagi menenun sarung adat, menjadi simbol kebanggaan dan martabat bagi perempuan di wilayah tersebut.
Ketiga, ekonomi dan mata pencaharian.
Selain menjadi simbol martabat, kerajinan tenun sarung juga menjadi sumber mata pencaharian bagi banyak perempuan. Sarung tenun yang dihasilkan memiliki nilai jual yang cukup tinggi. Hal ini dapat memberikan pendapatan bagi para penenun dan keluarganya.
Keempat, warisan budaya dan identitas.
Kerajinan tenun sarung merupakan warisan budaya yang sangat berharga bagi masyarakat Atadei. Setiap motif dan corak sarung menceritakan kisah dan filosofi hidup masyarakat setempat. Kerajinan ini menjadi identitas yang memperkaya keragaman budaya di Indonesia.
Kelima, pelestarian dan pengembangan.
Di era modern saat ini, upaya pelestarian dan pengembangan keterampilan tenun sarung penting dilakukan. Pemerintah daerah dan berbagai pihak terkait perlu mendukung para penenun melalui pelatihan, pemasaran produk, dan perlindungan terhadap warisan budaya ini.
Upaya Pelestarian dan Pengembangan
Kemungkinan perempuan Atadei sekarang tidak berminat dengan kerajinan ini. Berikut, beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan dan mengembangkan tradisi tenun sarung.
Pertama, pelibatan generasi muda.
Salah satu tantangan utama adalah memastikan regenerasi para penenun sarung di masa depan. Diperlukan upaya untuk melibatkan generasi muda, baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan keterampilan khusus. Dengan demikian, keterampilan tenun sarung dapat terus diturunkan dari generasi ke generasi.
Kedua, pelatihan dan pengembangan keterampilan.
Pemerintah daerah dan lembaga terkait dapat mengadakan program pelatihan dan pengembangan keterampilan bagi para penenun sarung. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk, diversifikasi motif dan corak, serta mengadopsi teknologi modern yang dapat membantu mempercepat proses produksi.
Ketiga, pemasaran dan promosi.
Diperlukan upaya pemasaran dan promosi yang lebih efektif untuk meningkatkan permintaan dan nilai jual sarung tenun Atadei. Hal ini dapat dilakukan dengan mengikutsertakan produk dalam pameran kerajinan lokal maupun nasional, serta memanfaatkan platform online dan media sosial untuk menjangkau pasar yang lebih luas.
Keempat, perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.
Motif dan corak sarung tenun Atadei merupakan warisan budaya yang perlu dilindungi. Pemerintah daerah dapat membantu para penenun dalam mendaftarkan hak kekayaan intelektual (HKI) atas motif dan corak tersebut, sehingga tidak dapat dieksploitasi secara ilegal oleh pihak lain.
Kelima, pengembangan desa wisata tenun.
Menciptakan desa wisata tenun dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Pengunjung dapat melihat langsung proses pembuatan sarung tenun, berinteraksi dengan para penenun, dan membeli produk secara langsung.
Keenam, dukungan pemerintah dan lembaga terkait.
Pemerintah daerah, lembaga adat, dan organisasi masyarakat sipil perlu memberikan dukungan nyata dalam upaya pelestarian dan pengembangan tradisi tenun sarung ini. Dukungan dapat berupa pendanaan, sarana dan prasarana, serta kebijakan yang mendorong keberlangsungan tradisi tenun sarung.
Keterampilan tenun sarung dalam masyarakat Atadei, Kabupaten Lembata, bukan sekadar kerajinan tradisional, melainkan juga merupakan simbol martabat perempuan, warisan budaya, dan identitas masyarakat setempat yang perlu dilestarikan dan dikembangkan.
Melalui upaya yang terkoordinasi dan berkelanjutan, tradisi tenun sarung dalam masyarakat Atadei, termasuk masyarakat Lamaholot lain, terus dilestarikan dan dikembangkan sebagai warisan budaya yang bernilai tinggi, sekaligus menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat setempat. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H