"Nur, mau kemana?" Teriak si Mahmudin memanggil sahabatnya.
Nurudin yang kelihatannya agak buru-buru, berusaha menyempatkan untuk menghampiri Nurudin.
"Anu, anu, anu Mud... " Nurudin tergagap-gagap saat ingin menjawab pertanyaan sahabatnya itu.
"Anu-anu, anu kenapa? Anu-mu kenapa Nur?" ejek Mahmudin, sambil bersikap seakan-akan khawatir sahabatnya kenapa-napa.
"Sembarangan. Bukan anu-ku kenapa-napa. Tapi, anu ... Baru saja, aku dengar dari mbak mini dan pak iwan, katanya pak Wid mau nyalon lurah lagi tahun depan." Jelas Nurudin.
"Lha terus, apa masalahnya Nur? Gak apa-apa toh, pak Wid mau nyalon lurah lagi? Toh, selama ini pak Wid juga bagus dalam memimpin dan mengelola desa kita ini." Sanggah Mahmudin.
"Bukan itu masalahnya, Nur. Kalau kerja pak Wid selama ini juga aku akui bagus."
"Terus, masalahnya apa?" tanya Mahmudin, penasaran.
"Masalahnya, pak iwan dan mbak mini itu lho."
"Nur, Nur, kebiasaanmu kalau bicara tak jelas. Tadi kamu bilang, pak Wid mau nyalon Lurah lagi, sekarang kamu bilang mbak Mini sama pak Iwan bermasalah."
"Kamu nya saja yang dari kemarin gampang menyimpulkan. Wong aku belum ceritakan masalahnya, kamu sudah menebak-nebak." Gerutu Nurudin.
"Kamu tau kan, gimana mbak Mini?" tanya, Nurudin.
"Iya."
"Mbak Mini kan masih saudaranya pak Wid. Nah, tadi pagi, mbak Mini ngobrolin rencana pak Wid buat nyalon lurah lagi tahun depan di warung Mas Lepi." Lanjut Nurudin menjelaskan.
"Terus?"
"Ya, dasar Mas Lepi yang suka gosip, kabar pak Wid mau nyalon Lurah lagi, di sebarin ke warga yang lain." tambah Nurudin. "Nah, masalahnya jadi ruwet, setelah pak Iwan mendengar kabar itu."
"Ruwet gimana, maksudmu Nur?"
"Ya, kamu tau kan, pak Iwan?" tanya, Nurudin.
"Iya."
"Pak Iwan kan masih saudaranya pak Yanto. Dan warga juga sudah sama-sama tau kan, kalau pak Yanto dari dulu pingin sekali jadi lurah?"
"Iya, aku tau Nur. Wong aku juga sempet dukung pak Yanto waktu Pemilihan lurah sebelumnya." potong Mahmudin.
"Nah, sebagai saudara pak Yanto, mendengar kabar pak Wid mau nyalon lurah lagi, pak Iwan agak tak terima Mud." Nurudin kembali menjelaskan pada sahabatnya. "Pak iwan dan Mbak mini, sempat ribut di warung mas Lepi. Keduanya saling menjelekkan calon lurah yang lain. Mbak Mini menjelekkan Pak Yanto, Pak iwan menjelekkan pak Wid. Dan keduanya jadi ribut."
"Oh, begitu toh ceritanya." Mahmudin terlihat menganggukkan kepalanya. "Terus, kenapa kok kamu terlihat buru-buru seperti itu?"
"Tadi waktu pak iwan dan mbak mini sedang ribut di warung mas Lepi. Pas kebetulan aku lewat, dan agak menenangkan keduanya." Jelas Nurudin. "Tapi, setelah keduanya berdamai dan ngopi bareng di warung mas Lepi, aku tak sengaja nyenggol kopinya pak iwan dan kopinya tumpah mengenai bajunya mbak Mini."
"Loh, jadi dari tadi kamu cerita panjang lebar tentang pencalonan lurah pak wid dan pak yanto, dan ternyata cerita sebenarnya tentang kamu tak sengaja menumpakan kopinya pak Iwan dan terkena bajunya mbak Mini?"
"Woey! NURUDIN! Jangan lari lagi kamu!" terlihat dikejauhan pak Iwan, mbak mini dan mas lepi sama-sama meneriakkan kalimat yang sama.
"Gawat. Mud. Aku kabur dulu, Mud." si Nurudin, langsung menyincingkan sarungnya dan berlari meninggalkan Mahmudin.
"Woey! MAHMUDIN! Kamu jangan sekongkol sama NURUDIN! Liat ini pakaianku kotor begini, gara-gara temanmu!" Teriak mbak Mini.
"Woey! NURUDIN! Gantiin dulu Kopiku yang kamu tumpahkan. Jangan lari!" Teriak Pak Iwan.
"Wah, gawat. Mending aku ikut kabur saja lah." Gumam Mahmudin yang segera beranjak lari dari tempatnya berdiri.
Dibelakang pak Iwan dan mbak Mini, mas Lepi terlihat ikut berlari sambil menjaga napasnya yang sudah cukup ngos-ngosan.Â
"Woy, kalian semua. Bayar dulu kopinya!"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI