Dunia internet, dunia maya, dunia dimana semua pendapat dapat diterima tanpa tabayyun, semua pendapat dapat ditolak tanpa diskusi. Saat kita bingung tentang suatu hal, kita cari kejelasannya di internet. Mbah google sudah merajai dunia perdukunan yang arahannya bisa dibenarkan. Mbah google juga sekaligus mampu mengarahkan penanya-nya pada sesuatu yang pantas disalahkan. Luar biasa sekali mbah google ini.
Saking populernya, saat ada yang berpendapat di dunia nyata ataupun di dunia nyata, tidak jarang seseorang dianggap bertanya pada mbah google, atau belajar dengan mbah google. Luar biasa sekali, selain telah merajai dunia perdukunan, mbah google pun hampir naik tingkat menjadi mahaguru. Luar biaya. (Ingat biaya beli kuota mahal)
Kembali pada topik yang sesuai dengan judul.
Sepertinya, saat ini telah marak diskusi tentang tradisi di internet, baik yang disampaikan melalui tekstual, maupun disampaikan secara visual (video). Banyak yang menyampaikan pendapatnya tentang tradisi pada sebuah tulisan. Lalu, bagi pencari tahu tentang tradisi yang menemukan tulisan ataupun videonya,memahaminya mentah-mentah. Yang menemukan pendapat yang menyalahkan, ketika berdiskusi menjadikannya sebagai argumen. Yang menemukan pendapat yang membenarkan, ketika berdiskusi menjadikannya sebagai pembenaran instan. Tak jarang, yang menggunakan pendapat yang membenarkan, orang yang terlebih dulu menemukan pendapat yang menyalahkan menganggap pendapat yang membenarkan hanyalah suatu pembenaran. Sekali lagi, luar biasa sekali mbah google ini.
Ah, mari lupakan sejenak tentang mbah google. Kita bahas yang sesuai judul.
Bertanya tentang tradisi, apa langkah atau tindakan terbaik yang perlu kita lakukan? Menyalahkannya ketika tradisi tersebut tidak sesuai dengan pemahaman kita? Atau, apakah kita perlu meng-kaji suatu tradisi, yang jika ditemukan kesalahannya kita coba perbaiki pemahaman ataupun pelaksanaannya, dan jika ada unsur kebaikan di dalamnya tradisi itu kita teruskan?
Sering kali, kita digiring untuk menyalahkan suatu tradisi. Dengan pemahaman syariat yang terkesan tegas, menyampaikan dalil-dalil, bahkan ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa suatu tradisi tidak ada dalilnya di Al-Quran ataupun Hadist. Lalu, pihak yang menyampaikan lebih menyarankan untuk meninggalkan tradisi.
Miris sekali, jika tradisi yang sudah diciptakan oleh nenek moyang, kemudian diwariskan pada kita untuk menjaganya, harus hilang karena perdebatan yang berdasarkan ego dan pemahaman yang belum matang. Dalam melestarikan / menjaga tradisi di masyarakat, kita perlu mencontoh para walisongo, yang berdakwah islam menggunakan tradisi. Dimana nuansa dan makna Islam dimasukkan untuk memperbaiki kesalahan tradisi yang diciptakan nenek moyang. Walisongo memberi contoh pada kita untuk menggunakan Islam untuk meluruskan dan memperbaiki tradisi. Bukan mengatasnamakan islam untuk menyalahkan dan melarang tradisi. Sayangnya, cara dakwah walisongo tersebut telah memudar di masyarakat. Dimana tradisi itu sendiri lebih sering disalahkan, dilarang, ataupun dianjurkan untuk ditinggalkan.
Beberapa pihak saat ini, beranggapan bahwa dakwah islam harus dilakukan sesuai syariat. Dakwah islam hanya boleh dilakukan dengan cara yang dicontohkan oleh rasulullah.
Jika kita ingin mengkaji suatu tradisi, mari kita coba ambil contoh dakwah rasulullah di madinah.
Ketika Rasulullah sampai di madinah, Rasulullah bermalam di rumah dua orang anak yatim. Dan setelah itu, sejarah mengatakan bahwa rasulullah mendirikan masjid yang pertama dalam sejarah islam disana. Pembuatan Masjid Quba, dibangun dengan material seadanya yang ditemui di sekitar madinah. Di sampaikan dalam sejarah, bahwa masjid yang dibangun oleh Rasulullah difungsikan tidak hanya sebagai tempat beribadah, tapi juga menjadi tempat bermusyawarah dan dijadikan pusat pemerintahan.
Tradisi menggunakan masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah, ternyata masih diterapkan oleh walisongo dalam berdakwah di indonesia, khususnya di masyarakat jawa. Tradisi tersebut sering kita jumpai saat adanya pengajian di masjid, tahlilan di masjid, dan sebagian masih ada yang memfungsikan masjid untuk tempat bermusyawarah dan menjalankan tradisi.
Miris, ketika ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa masjid hanya difungsikan sebagai tempat beribadah saja. Beranggapan jika masjid dijadikan tempat selain beribadah, akan mengganggu orang yang sedang beribadah di masjid. Padahal, kita sendiri pun sudah diajarkan toleransi.Â
Rasulullah pun telah memberikan contoh saat hijrah ke madinah, bahwa dakwah islam dapat disampaikan dengan menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakatnya. Dan itulah yang diterapkan oleh walisongo dalam berdakwah. Rasulullah menyatukan dua pihak yang bersengketa, menyatukan antara penduduk asli dan yahudi pendatang, membuat perjanjan madinah yang beresensi menciptakan kebudayaan di madinah.Â
Dulu, leluhur kita telah disatukan dan diluruskan kebudayaannya oleh walisongo. Yang awalnya kebudayaan / tradisi yang ada menuju kesyirikan dan kesesatan, diberi unsur islam didalamnya agar lebih mengarahkan pada tauhid kepada Allah. Kasta-kasta yang ada diluruskan, diganti dengan sebutan warga. Yang diambil dari kata suwarga / suwargi yang berarti surga / penghuni surga. Nama pemimpin yang awalnya bergelar prabu, diubah menjadi sultan, dan pemerintahan yang awalnya kerajaan berkosep kekuasaan diganti dengan konsep kesultanan yang berkonsep pengayoman masyarakat. Kata masyarakat pun diperkenalkan oleh walisongo untuk menyebut penduduk secara umum.
Tradisi yang awalnya diwarisi dari kebudayaan kerajaan, diluruskan pemahamannya dengan dibuatkan tradisi baru yang secara konsep sama namun esensinya dirubah. Yang dulunya mengarah pada kemusyrikan, diluruskan menjadi lebih mengarah pada tauhid kepada Allah.
Saat ini ada pihak yang beranggapan bahwa nenek moyang orang indonesia khususnya jawa adalah penganut animisme dinamisme yang digeneralisir dianggap sesat. Seakan tidak mengkaji sejarah bahwa nenek moyang bangsa ini adalah kaum intelektual. Seorang sejarawan yang meneliti sejarah nenek moyang indonesia pernah menyampaikan tentang agama nenek moyang orang jawa yang disebut kapitayan. Dalam agama kapitayan itu sendiri dijelaskan bahwa penganut agama kapitayan punya keyakinan tentang Tuhan yang maha esa, yang tidak berwujud serupa dengan makhluknya, disebut sebagai sang hyang widhi. Dalam memperkenalkan Allah, walisongo mengamati kesamaan pemahaman antara tuhannya agama kapitayan dan sifat Allah. Walisongo menilai bahwa sebenarnya penganut kapitayan telah mengenal tauhid namun belum pernah sampai ilmu syariat yang menjelaskan tentang Allah kepada mereka. Sehingga, walisongo pun memperkenalkan sifat Allah yang tidak berwujud seperti makhluknya. Sang hyang widhi pun pada akhirnya dikenal sebagai sifat Allah yang kemudian menjadi alasan penganut agama kapitayan mudah menerima islam.Â
Salah satu pemahaman yang menilai nenek moyang indonesia menganut animisme dinamisme, adalah karena kebiasaan orang penganut kapitayan yang beribadah (mendekatkan diri pada sang hyang widhi) di dalam sebuah pohon, yang sebenarnya bukan menyembah pohonnya, tapi membuat suatu ruangan di dalam sebuah pohon, atau membentuk ruangan dari beberapa pohon lalu bersemedi di dalamnya untuk mengingat sang hyang widhi dengan cara melupakan kehidupan duniawi. Dan konsep itu pula yang digunakan walisongo dalam mengajarkan sholat. Bahwa sholat adalah satu-satunya cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, dilakukan dengan melupakan duniawi. Tempat ibadah yang tadinya disebut sebagai sanggar, digubah menjadi Langgar. Itu kenapa, orang jawa sering menyebut mushola dengan sebutan "Langgar".
Sebenarnya, ada banyak tradisi yang telah diubah oleh walisongo yang masih terus berlangsung hingga saat ini. Dan memang, tidak jarang ada tradisi yang coba dibalikkan kepada konsep dan esensi awalnya. Namun, alih-alih berusaha mengkaji dan mengarahkan agar tradisi tersebut diterapkan sesuai gubahan walisongo, kita lebih sering digiring untuk menghilangkan tradisi dan tidak perlu mengkajinya.
Mungkin yang menjadi kekhawatiran adalah ketika kita berusaha mengarahkan tradisi tersebut ke jalan islam, kelak tradisi itu akan terbawa kembali ke arah awal yang salah. Oleh karena itu, pihak yang melarang atau ingin menghilangkan tradisi tersebut beranggapan bahwa meniadakannya akan lebih baik.Â
Dan disini kita punya dua kesimpulan yang bisa dijadikan pilihan.
1. Meneruskan tradisi dengan meneruskan kebiasaan mengkajinya dan berusaha mengarahkannya kepada jalan islam. Dengan kata lain, memilih untuk tetap menjaga tradisi dan mengajarkan generasi penerus untuk terus mengkajinya karena tradisi pun merupakan warisan leluhur yang menjadi kekayaan intelektual kita.
2. Menghilangkan atau meniadakan unsur tradisi dalam kehidupan agar tradisi tidak berdampak negatif seperti yang telah dikhawatirkan. Dengan kata lain pula, memilih untuk meninggalkan warisan leluhur yang sebenarnya penting untuk menjadi identitas kita sebagai bangsa yang kaya akan kekayaan intelektual (budaya).
Pilihan ada ditangan kita. Namun, dalam tulisan ini pula, saya ingin berpendapat. Sebelum mengkaji suatu tradisi, akan lebih baik jika kita mengkajinya daripada secara masif menyalahkannya. Karena ketika kita tidak mampu atau tidak mau menerapkan pilihan pertama, belum tentu orang lain tidak mampu. Dan ketika kita memilih untuk menerapkan pilihan kedua, kita pun harus menghargai orang-orang yang memilih pilihan pertama.
Catatan : Disini, saya tidak menyampaikan hadist atau ayat Al-Quran. Karena bagi saya, ini bukan pembahasan syariat islam. Selain itu saya merasa, bukan kapasitas saya menyampaikan hadist atau ayat Al-Quran. Saya hanya mengindari pembenaran atas pendapat saya. Karena Hadist dan Ayat, hanya mampu dijelaskan oleh ahlinya. Dan saya belum pantas untuk mengkaji tentang hadist dan ayat Al-Quran.
-- Catatan Agustino Pratama, tentang tradisi. 13 Mei 2017 --
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H