"Maaf, Tante. Saya boleh minta tolong?"
Saya mengalihkan pandangan dari layar HP ke asal suara. Tiga anak muda tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapan saya. Mereka spontan menganggukkan kepala dengan sopan. Pun, kompak tersenyum.
"Eh? Minta tolong apakah?"
Salah satu dari mereka malah gantian bertanya, "Apakah Tante punya akun Instagram?"
"Punya."
Saya menjawab dengan perasaan bingung. Plus sedikit curiga. Maklumlah, ya. Itu pertanyaan yang tidak lazim dilontarkan kepada orang yang tak dikenal.
"Alhamdulillah. Kalau boleh, saya minta tolong DM-kan adik saya."
"Hmmm. Maksudnya gimana, nih? Aku harus DM adikmu? Kenapa? Untuk apa?"
"Eh, gini-gini. Maaf bikin bingung. Ceritanya begini. Saya dan teman-teman ini, juga adik perempuan saya, tadi naik kereta api dari Solo."
"O, dari Solo."
"Iya, Tante. Saya dan adik kuliah di Solo. Terus ini, teman-teman dari Bandung berkunjung. Ceritanya kami mau jalan-jalan di Jogja. Tadi naik kereta. Aturan turun Stasiun Tugu, tapi kami salah turun di Lempuyangan. Adik tetap kebawa sampai Stasiun Tugu. Ini tadi kami jalan kaki dari Lempuyangan.
"Oalah."
"Jadi kalau boleh, mau minta tolong DM-kan adik. Ngasih tahu kalau kami menunggunya di sini. Dekat Titik Nol."
"Eh? Kalian enggak bawa HP? Atau, sedang low batt?"
"Enggak punya. Saya memang sengaja sih, enggak pakai HP. Berusaha tidak kecanduan. Mereka itu juga."
"Ah, iya-iya. Paham. Aku paham maksudmu. Maksud kalian," kata saya sembari tersenyum.
Ketiga pemuda di depan saya itu pun ikut tersenyum. Kemudian saya bertanya, "Adikmu punya kontak WA atau tidak? Daripada via DM Instagram lebih baik via WA. Via Instagram takutnya tidak segera dibaca. Kalau WA 'kan bisa lebih cepet."
"Hehe ... iya."
"Kamu hafal nomor WA-nya?"
"Hafal."
Kemudian dia menyebutkan sederet angka dan saya mencatatnya. Sekalian langsung mengirimkan pesan kepada nomor tersebut.
"Sudah terkirim, tapi kok belum segera dibaca. Kita tunggu dulu. Semoga segera dibaca dan dibalas," kata saya.
"Terima kasih banyak."
"Oke."
Saya menjawab sembari kembali memeriksa WA. Ternyata belum ada respons sama sekali dari adiknya. "Ngomong-ngomong, sudah berapa lama hidup tanpa smartphone?" Tanya saya kepo.
"Sepertinya, kurang lebih 3 bulan."
"Wuiiih. Keren, keren. Lumayan lama itu. Kalau aku rasanya enggak bakalan bisa hidup tanpa smartphone."
"Tante eksis banget di medsos, ya?"
"Bukannya begitu. Aku cukup tahan untuk lama enggak nengok medsos, kok. Tapi masalahnya, aku harus rutin nengok email tiap hari. Harus pula cari-cari info lomba dan job. Sudahlah. Repot banget kalau hidup tanpa smartphone. Eh, sudah dibalas. Alhamdulillah."
"O, ya."
"Oke, oke. Â Ini kubilang ke adikmu, kalau kalian menunggunya di area Titik Nol. Depan Museum Vredeburg."
"Siap. Terima kasih banyak."
"Sama-sama. Eh? Berarti aman ya, kalau aku pulang sekarang?"
"Aman, aman. Terima kasih."
Karena hari kian sore, saya bergegas pulang. Namun, sesampai di rumah saya kepikiran anak-anak muda tanpa HP tadi. Akhirnya untuk memastikan, saya berkirim pesan WA lagi ke si adik. Setelah menunggu beberapa menit, saya pun bisa bernapas lega. Si adik menjawab bahwa mereka sudah saling menemukan. Syukurlah. Berarti tanggung jawab saya selesai dengan tuntas.
***
Itulah pengalaman saya berjumpa dengan anak-anak muda anomali, yang nekad tak bergawai dalam keseharian. Menurut pengakuan mereka, tanpa smartphone hidup mereka tetap baik-baik saja. Bisa lebih fokus baca buku (referensi kuliah) dan mengerjakan hal-hal luring lainnya.
Selama melakukan diet smartphone, mereka mengaku tidak menjumpai kesulitan. Hingga akhirnya terjadi insiden salah turun stasiun tadi. Yang bagaimanapun harus diakui bahwa dalam situasi serupa itu, mutlak dibutuhkan smartphone untuk berkomunikasi.
Mereka relatif sanggup hidup tanpa smartphone mungkin sebab masih mahasiswa. Fokus hidupnya masih belajar dan belajar. Masih memungkinkan untuk menjadi manusia luring. Sungguh berkebalikan dengan kondisi saya, yang susah lepas dari gawai. Tak cuma untuk urusan pekerjaan, tapi sampai urusan belanja dan transportasi pun saya mengandalkan smartphone. Dunia dalam genggaman pokoknya.
Apa boleh buat? Rupanya saya termasuk tipikal manusia kekinian yang tak bisa hidup tanpa smartphone. Nah, bagaimana halnya dengan Anda?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H