"Aman, aman. Terima kasih."
Karena hari kian sore, saya bergegas pulang. Namun, sesampai di rumah saya kepikiran anak-anak muda tanpa HP tadi. Akhirnya untuk memastikan, saya berkirim pesan WA lagi ke si adik. Setelah menunggu beberapa menit, saya pun bisa bernapas lega. Si adik menjawab bahwa mereka sudah saling menemukan. Syukurlah. Berarti tanggung jawab saya selesai dengan tuntas.
***
Itulah pengalaman saya berjumpa dengan anak-anak muda anomali, yang nekad tak bergawai dalam keseharian. Menurut pengakuan mereka, tanpa smartphone hidup mereka tetap baik-baik saja. Bisa lebih fokus baca buku (referensi kuliah) dan mengerjakan hal-hal luring lainnya.
Selama melakukan diet smartphone, mereka mengaku tidak menjumpai kesulitan. Hingga akhirnya terjadi insiden salah turun stasiun tadi. Yang bagaimanapun harus diakui bahwa dalam situasi serupa itu, mutlak dibutuhkan smartphone untuk berkomunikasi.
Mereka relatif sanggup hidup tanpa smartphone mungkin sebab masih mahasiswa. Fokus hidupnya masih belajar dan belajar. Masih memungkinkan untuk menjadi manusia luring. Sungguh berkebalikan dengan kondisi saya, yang susah lepas dari gawai. Tak cuma untuk urusan pekerjaan, tapi sampai urusan belanja dan transportasi pun saya mengandalkan smartphone. Dunia dalam genggaman pokoknya.
Apa boleh buat? Rupanya saya termasuk tipikal manusia kekinian yang tak bisa hidup tanpa smartphone. Nah, bagaimana halnya dengan Anda?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H