Para anggota rombongan pastilah di sepanjang perjalanan cemas bukan kepalang. Begitu pula halnya dengan orang-orang yang menunggu kedatangan mereka di Stasiun Yogyakarta.
Betapa tidak cemas kalau perjalanan tersebut amat berisiko? Nilai pertaruhannya terlalu besar.
Kalau sampai ketahuan pihak tentara Belanda, kemungkinannya cuma dua. Semua anggota rombongan ditawan atau ditembak mati.
Nah. Bayangkanlah bila salah satu dari dua kemungkinan buruk itu yang terjadi. Mungkinkah kita sekarang bisa mengadakan lomba-lomba Agustusan? Dalam rangka memperingati Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945?
Tak terbantahkan lagi. Stasiun Yogyakarta adalah saksi sekaligus titik dimulainya takdir Yogyakarta sebagai ibukota negara tatkala itu. Peron dan relnya turut mencatat bahwa sejak kedatangan KLB tersebut, jalannya revolusi Indonesia pun resmi dipimpin dari Yogyakarta.
Perlu diketahui bahwa ibukota RI dipindahkan sebab keamanan di Jakarta makin tidak kondusif. Tentara Belanda selalu merecoki penyelenggaraan pemerintahan.
Begitulah. Rupanya penjajah Belanda belum ikhlas melihat Indonesia berdaulat sebagai bangsa. Jadi, tentara Belanda balik ke Indonesia dengan cara membonceng pasukan NICA. Kemudian merecoki apa pun yang dilakukan pemerintahan Presiden Soekarno.
Yeah ... Kalau istilah anak muda masa kini, penjajah Belanda gamon. Gagal move on.
Adapun Kota Yogyakarta dipilih karena dipandang jauh lebih kondusif. Lebih dari itu, Sultan Hamengku Buwono IX memang telah mempersilakan wilayah kekuasaan beliau dijadikan sebagai ibukota sementara. Beserta seluruh konsekuensinya.
Bangunan Cagar Budaya
Sesungguhnya nilai sejarah yang dikandung Stasiun Yogyakarta tidak terbatas pada sejarah perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Jika ditarik lebih ke belakang, masih banyak fakta sejarah menarik lainnya.