Sejauh pencermatan saya, rata-rata orang ngedumel kalau ditagih bank plecit. Mungkin karena pada dasarnya si peminjam tidak mau terbebani bunga yang tinggi. Kondisilah yang memaksa untuk nekad berutang pada bank plecit.
Lain halnya dengan nasabah koperasi. Karena sudah menjadi anggota, sudah paham hak dan kewajibannya, paham pula detil aturan utang-piutang di situ, otomatis relatif ringan hati untuk membayar cicilan. Terlebih memang tidak ada bunga mencekik leher untuk pengembalian pinjamannya.
O, ya. Dari seorang pemilik warung lesehan di sekitar Masjid Gedhe Kauman, saya mendapatkan informasi bahwa KSPPS BMT Beringharjo juga melakukan upaya jemput bola bagi anggota yang hendak menabung. Itu sebuah langkah yang keren 'kan?
"Sangat memudahkan orang sepertiku, Mbak. Aku sebenarnya mau-mau saja menabung rutin tiap minggu. Itung-itung untuk simpanan hari tua nanti. Tapi kalau harus ke kantornya repot. Untung mase ada program kelilingan gitu," kata pemilik warung lesehan tersebut.
Begitulah dinamika koperasi yang saya jumpai sejauh ini. Pada satu sisi distigma oleh mereka yang tak memahami. Sementara pada sisi lainnya dijadikan solusi untuk problema ekonomi, bagi yang memahami.
Saya yakin, jika makin banyak koperasi simpan pinjam yang cara kerjanya sesuai dengan "khitah"-nya, masyarakat lambat-laun tak tergiur pada rayuan maut pinjol dan koperasi gadungan. Bagaimanapun payung hukum koperasi jelas. Yang berarti aman dan nyaman bagi anggotanya.
Sebagai rakyat jelata golongan ekonomi menengah ke bawah, saya pun terus terang merasa paling aman kalau mesti berutang di koperasi simpan pinjam. Yang the real koperasi lho, ya. Bukan yang koperasi-koperasian.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H