Semula saya tidak menyadari bahwa ada stigma terhadap koperasi. Sebab pengalaman saya selama menjadi anggota sebuah kopma (koperasi mahasiswa), tidak dilumuri rasa pahit sedikit pun.
Bagaimana bisa terasa pahit, kalau saya bahkan mendapatkan SHU (Sisa Hasil Usaha)? Sementara saya cuma berstatus sebagai anggota pasif. Meskipun jumlahnya lebih kecil daripada SHU yang diterima anggota aktif, jumlahnya tetap signifikan bagi saya yang anak kos berkantong pas-pasan.
Selain pengalaman pribadi itu, saya juga menjadi saksi berdirinya sebuah koperasi simpan pinjam yang ada di kampung halaman sana. Yang ternyata di kemudian hari (hingga sekarang), sukses meningkatkan kesejahteraan para anggota dan pengurusnya.
Berdasarkan kedua hal tersebut, wajarlah kalau kesan saya terhadap koperasi 100% positif. Koperasi di mata saya benar-benar merupakan soko guru perekonomian bangsa. Sesuai betul dengan cita-cita Bung Hatta.
Hingga akhirnya saat tinggal di sebuah kampung di pinggiran Kota Yogyakarta, saya terlibat percakapan terkait koperasi dengan tiga tetangga. Tatkala itu mereka usai melakukan pertemuan dengan seorang pegawai (baca: tukang tagih) rentenir.
Agenda utama pertemuan tersebut rupanya pelunasan sekaligus negosiasi jumlah utangan selanjutnya. Saat itulah saya baru paham mengapa si pegawai rentenir tadi rutin datang menagih. Tanpa jeda, tahun demi tahun.
Semula saya pikir masa cicilannya teramat panjang karena jumlah utang sangat banyak. Ternyata, o, rupanya. Jumlah utang tidak terlampau besar, tetapi tiap lunas langsung kembali ambil utang baru. Alhasil, utang mereka sambung-menyambung sehingga terkesan tak kunjung lunas.
Terus terang saya kaget mengetahui fakta tersebut. Serasa di luar nalar gitu, lho. Mengapa? Sebab mereka kerap berkeluh kesah mengenai nasib masing-masing yang terjerat rentenir.
Nah 'kan? Memang membingungkan. Kalau merasa terjerat bunga utang yang tinggi, mengapa tak jera-jera berutang ke rentenir?
Makin mengagetkan ketika saya bertanya, "Kenapa tak pinjam ke koperasi? Di sekitar sini ada koperasi enggak?"
"Halah! Bunga koperasi malah mencekik leher. Lebih besar ketimbang rentenir langgananku ini tadi. Sudah kapok aku utang koperasi."
Usut punya usut, yang disebut koperasi oleh tetangga saya itu bukanlah the real koperasi. Nama resminya memang koperasi simpan pinjam. Namun, pengoperasiannya menyalahi prinsip-prinsip koperasi. Malah lebih tepat disebut rentenir.
"Di kampung sini, dulu pernah ada yang coba-coba bikin koperasi. Itu lho, Bu X yang mengurusi. Tapi ya tidak lama. Langsung bubar," kata tetangga yang satunya.
"Mestilah bubar. Baru utangan pertama saja sudah macet. Anggota-anggota yang utang tidak mau membayar."
"Lho? Semua tidak mau membayar?" Tanya saya heran.
"Iya. Akhirnya ya semua tidak melunasi utang. Mulanya aku mau nyicil. Terus, dilarang suamiku. Lhah lainnya enggak ada yang bayar, kok. Rugilah kalau aku bayar sendiri."
Jawaban yang sungguh bikin tercengang. Itu 'kan berarti ngemplang koperasi ramai-ramai. Koperasi yang baru berdiri dan berdirinya di kampung mereka sendiri. Yang sebenarnya, justru merupakan the real koperasi.
Apa boleh buat? Reputasi baik koperasi telah diobrak-abrik oleh rentenir berkedok koperasi. Alhasil, orang-orang yang semula menggantungkan harapan indah terhadap koperasi menjadi berbalik arah.
Mereka kecewa. Tak percaya lagi bahwa the real koperasi bisa meningkatkan kesejahteraan hidup para anggotanya. Tak ayal lagi, kerancuan pemahaman terhadap koperasi dan "koperasi" menyebabkan munculnya stigma terhadap koperasi.
Jelas bahwa stigma itu sangat merugikan. Bagaimana bisa mengajak seseorang untuk menjadi anggota koperasi, jika dia sudah berpikiran buruk terhadap koperasi? Walaupun faktanya koperasi itu baik, kalau banyak orang yang suuzon ya percuma.
Kiranya butuh kerja keras untuk mengembalikan reputasi baik koperasi. Menurut saya, ada 3 hal yang mesti dilakukan agar koperasi tetap eksis.
PERTAMA, memberantas stigma bahwa koperasi sama jahat dengan rentenir.
Caranya dengan melakukan sosialisasi secara masif dan menertibkan rentenir/lembaga rentenir yang berkedok koperasi.
Sosialisasi masif yang saya maksudkan adalah sosialisasi tentang definisi koperasi yang sesungguhnya. Tentu beserta penjelasan gamblang terkait cara kerja koperasi. Kemudian diberi penjelasan tentang layanan apa saja yang dapat diberikan koperasi.
Masyarakat juga perlu betul-betul dipahamkan mengenai hak dan kewajibannya, jika menjadi anggota koperasi. Misalnya kewajiban untuk menyetor simpanan pokok, simpanan wajib, dan simpanan sukarela.
Demikian pula, masyarakat mesti paham adanya hak menerima SHU dan aneka hak lain sebagai anggota koperasi.
KEDUA, go digital.
Koperasi hendaknya mau mereformasi diri sehingga kekinian. Poin kekinian ini penting. Terutama untuk para anggota dari kalangan milenial dan gen Z.
Koperasi era sekarang idealnya punya website. Minimal punya akun medsos. Tujuannya memudahkan berinteraksi dengan khalayak. Plus mengedukasi mereka tentang koperasi.
Mengingat tujuannya, tentu tak boleh berhenti pada titik "sekadar punya". Lebih dari itu, koperasi yang bersangkutan hendaknya aktif menayangkan konten-konten positif. Terutama yang berisi informasi-informasi terkini dari koperasi yang bersangkutan.
KETIGA, mau jemput bola.
Perlu diketahui bahwa ada orang-orang yang sesungguhnya mau dan butuh menjadi anggota koperasi, tetapi tidak tahu caranya.
Ada pula yang tahu caranya, tetapi terkendala bila harus pergi ke kantor koperasi. Meskipun ada kantor cabang terdekat sekalipun, yang namanya kendala tetaplah kendala. Entah karena tak ada akses kendaraan, memang tak bisa bepergian, ataupun terkendala oleh hal-hal lain.
Pastilah tak semudah membalikkan telapak tangan untuk melakukan ketiga hal tersebut. Akan tetapi, ketiganya BISA mempertahankan eksistensi koperasi. Tentu asalkan konsisten dilakukan.
Kalau mau teliti, sesungguhnya masih banyak koperasi yang berjalan sesuai "khitah"-nya. Sebagaimana yang dahulu digagas oleh Bung Hatta, salah satu Bapak Bangsa kita. Salah satu contohnya KSPPS (Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah) BMT Beringharjo.
Koperasi tersebut berdiri pada tahun 1994 dan kini telah makin eksis. Salah satu indikasinya adalah punya banyak cabang di berbagai wilayah. Bukan cuma tersebar di sekitar Pasar Beringharjo Yogyakarta. Anda bisa berselancar di internet untuk mengenalinya lebih detil.
Sejauh pengamatan saya, kunci kesuksesan KSPPS BMT Beringharjo adalah keseriusannya untuk menolong perekonomian masyarakat. Banyak anggotanya yang telah merasakan manfaat dari keseriusan tersebut. Sikap amanah inilah yang lambat-laut memperkokoh kepercayaan khalayak terhadapnya.
KSPPS BMT Beringharjo juga cukup responsif dengan dinamika zaman. Paling tidak, keaktifan website serta akun Instagram dan Tiktoknya bisa menjadi bukti.
Metode jemput bola pun dilakukan. Dahulu saya pernah beberapa kali melihat pegawainya mendatangi para penjual kakil ima di Malioboro. Tatkala itu untuk penagihan cicilan pinjaman.
Terus terang saya terkesan melihat pemandangan tersebut. Petugas berseragam batik datang ke lapak jualan dengan buku catatan siap di tangan. Pemilik lapak menyambut ramah dan tanpa drama menyerahkan sejumlah uang. Si petugas kemudian mencatatnya, mengucapkan terima kasih disertai sedikit obrolan ramah tamah, lalu berpamitan untuk bergeser ke lapak selanjutnya.
Apa yang menyebabkan saya terkesan?Â
Tak lain dan tak bukan, sikap tertib pemilik lapak yang tanpa drama menyerahkan uang cicilan. Saya pikir penyebabnya pastilah keikhlasan. Ikhlas untuk melunasi pinjaman. Adapun rasa ikhlasnya hadir karena dia merasa telah dibantu melalui pinjaman tersebut.
Bagi Anda hal itu mungkin tidak mengesankan. Namun bagi saya, yang kerap melihat adegan serupa antara bank plecit* dan nasabahnya, jelas merupakan "sesuatu".
Sejauh pencermatan saya, rata-rata orang ngedumel kalau ditagih bank plecit. Mungkin karena pada dasarnya si peminjam tidak mau terbebani bunga yang tinggi. Kondisilah yang memaksa untuk nekad berutang pada bank plecit.
Lain halnya dengan nasabah koperasi. Karena sudah menjadi anggota, sudah paham hak dan kewajibannya, paham pula detil aturan utang-piutang di situ, otomatis relatif ringan hati untuk membayar cicilan. Terlebih memang tidak ada bunga mencekik leher untuk pengembalian pinjamannya.
O, ya. Dari seorang pemilik warung lesehan di sekitar Masjid Gedhe Kauman, saya mendapatkan informasi bahwa KSPPS BMT Beringharjo juga melakukan upaya jemput bola bagi anggota yang hendak menabung. Itu sebuah langkah yang keren 'kan?
"Sangat memudahkan orang sepertiku, Mbak. Aku sebenarnya mau-mau saja menabung rutin tiap minggu. Itung-itung untuk simpanan hari tua nanti. Tapi kalau harus ke kantornya repot. Untung mase ada program kelilingan gitu," kata pemilik warung lesehan tersebut.
Begitulah dinamika koperasi yang saya jumpai sejauh ini. Pada satu sisi distigma oleh mereka yang tak memahami. Sementara pada sisi lainnya dijadikan solusi untuk problema ekonomi, bagi yang memahami.
Saya yakin, jika makin banyak koperasi simpan pinjam yang cara kerjanya sesuai dengan "khitah"-nya, masyarakat lambat-laun tak tergiur pada rayuan maut pinjol dan koperasi gadungan. Bagaimanapun payung hukum koperasi jelas. Yang berarti aman dan nyaman bagi anggotanya.
Sebagai rakyat jelata golongan ekonomi menengah ke bawah, saya pun terus terang merasa paling aman kalau mesti berutang di koperasi simpan pinjam. Yang the real koperasi lho, ya. Bukan yang koperasi-koperasian.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H