"Halah! Bunga koperasi malah mencekik leher. Lebih besar ketimbang rentenir langgananku ini tadi. Sudah kapok aku utang koperasi."
Usut punya usut, yang disebut koperasi oleh tetangga saya itu bukanlah the real koperasi. Nama resminya memang koperasi simpan pinjam. Namun, pengoperasiannya menyalahi prinsip-prinsip koperasi. Malah lebih tepat disebut rentenir.
"Di kampung sini, dulu pernah ada yang coba-coba bikin koperasi. Itu lho, Bu X yang mengurusi. Tapi ya tidak lama. Langsung bubar," kata tetangga yang satunya.
"Mestilah bubar. Baru utangan pertama saja sudah macet. Anggota-anggota yang utang tidak mau membayar."
"Lho? Semua tidak mau membayar?" Tanya saya heran.
"Iya. Akhirnya ya semua tidak melunasi utang. Mulanya aku mau nyicil. Terus, dilarang suamiku. Lhah lainnya enggak ada yang bayar, kok. Rugilah kalau aku bayar sendiri."
Jawaban yang sungguh bikin tercengang. Itu 'kan berarti ngemplang koperasi ramai-ramai. Koperasi yang baru berdiri dan berdirinya di kampung mereka sendiri. Yang sebenarnya, justru merupakan the real koperasi.
Apa boleh buat? Reputasi baik koperasi telah diobrak-abrik oleh rentenir berkedok koperasi. Alhasil, orang-orang yang semula menggantungkan harapan indah terhadap koperasi menjadi berbalik arah.
Mereka kecewa. Tak percaya lagi bahwa the real koperasi bisa meningkatkan kesejahteraan hidup para anggotanya. Tak ayal lagi, kerancuan pemahaman terhadap koperasi dan "koperasi" menyebabkan munculnya stigma terhadap koperasi.
Jelas bahwa stigma itu sangat merugikan. Bagaimana bisa mengajak seseorang untuk menjadi anggota koperasi, jika dia sudah berpikiran buruk terhadap koperasi? Walaupun faktanya koperasi itu baik, kalau banyak orang yang suuzon ya percuma.
Kiranya butuh kerja keras untuk mengembalikan reputasi baik koperasi. Menurut saya, ada 3 hal yang mesti dilakukan agar koperasi tetap eksis.