Terusterang saja dari sekian banyak huru-hara di Jogja yang pernah saya alami, huru-hara tempo hari itulah yang paling menguras emosi.
Semua pihak boleh bilang telah berdamai. Akan tetapi, apakah perdamaian itu bisa mengembalikan kursi bersejarah peninggalan Ki Hajar Dewantara ke kondisi semula, sebelum dirusak massa?
Saya bisa memaklumi kalau ada ibu-ibu warga sekitar Pendopo Agung Tamansiswa yang sampai histeris menangis sebab tak ikhlas, atas apa yang menimpa kawasan bersejarah itu. Bahkan bisa jadi kalau ikut berada di TKP, saya juga ikutan histeris.
Penutup
Jadi, masih layakkah Jogja dikunjungi sebagai destinasi wisata impian? Masih pantaskah Jogja disebut-sebut sebagai tempat pulang yang paling dirindukan?
Masih istimewakah Jogja, jika aparat pengamanannya justru melokalisir/mengevakuasi massa perusuh di kawasan bersejarah? Tanpa izin pula. Yang berakibat fatal, yaitu rusaknya sebagian koleksi Museum Dewantara.
MUNGKIN benar bahwa Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan. Namun, MUNGKIN itu dulu. Kalau sekarang MUNGKIN komposisinya sudah berubah. MUNGKIN ada tambahan terbuat dari bara api anglo yang biasa untuk bikin kopi joss. MUNGKIN lho, ya. MUNGKIN ...
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H