Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan (JokPin)
Entah sejak kapan tepatnya, pertanyaan yang saya jadikan judul tulisan ini kerap melintas-lintas di benak. Yup! Masihkah Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan?
Bahkan, lambat-laun saya bertanya-tanya masygul, "Apa benar Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan? Pak JokPin enggak salah, nih?"
Kalimat "Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan" memang merupakan petikan dari puisi karya Penyair Joko Pinurbo (JokPin). Yang kemudian viral dan menjadi semacam lagu kebangsaan, bagi siapa saja yang merasa termehek-mehek pada Jogja a.k.a. Yogyakarta.
Faktanya?
Faktanya di Jogja banyak angkringan. Walaupun sekarang sebagian "dinaikkelaskan" menjadi bergaya kafe, di ujung-ujung kampung masih bisa ditemukan the real angkringan. Berarti angkringan masih valid disebut sebagai bahan pembuat Jogja.
Lalu, bagaimana halnya dengan rindu dan pulang?
Saya yakin, orang-orang yang punya kenangan menyenangkan di Jogja pastilah punya setumpuk rindu. Entah rindu nongkrong di angkringan? Entah rindu menikmati gudhegnya? Atau, entah rindu pada apa pun itu.
Sebab konon bagi tiap orang yang pernah tinggal di Jogja, semua sudut Jogja itu romantis. Dengan demikian, wajar kalau Jogja terasa '"rinduable" untuk banyak orang.
Perkara rindu tersebut hendak disimpan saja atau segera dituntaskan dengan cara pulang (berkunjung) ke Jogja, tentu tergantung pada kondisi masing-masing. Sementara tiap keputusan terkait rindu itu punya dasar pertimbangan.
Ada yang terpaksa menyimpan saja rindunya, sebab kini berdomisili di tempat yang sangat jauh dari Jogja. Tak jadi soal. Alasannya wajar.
Di sisi lain ada pula yang dengan sadar memutuskan, sebesar apa pun rindu yang ditanggungnya, tak bakalan lagi menginjak Jogja. Alasannya, Jogja kini menyeramkan. Tak lagi aman dan berhati nyaman.
Apa boleh buat? Sebuah rasa tak bisa dihakimi dan dipaksakan. Â Lagi pula, itu bukan alasan yang mengada-ada.
Mereka yang takut ke Jogja tak bisa disalahkan. Tidak dapat serta-merta dianggap penakut. Terlebih kenyataannya, Jogja kian sering bikin deg-degan.
Jangankan orang-orang yang tinggal di luar Jogja. Yang cuma bisa membayangkan kengerian dari situasi huru-hara itu. Sementara bayangan atas suatu kejadian acap kali lebih menakutkan daripada kejadian aslinya.
Saya yang tinggal di Jogja pun kerap dilanda cemas bilamana terjadi huru-hara. Terkhusus ketika sedang bepergian. 'Kan gawat kalau sampai ikut terjebak dalam keributan massal.
Anda kemungkinan besar telah tahu. Belakangan--namun sesungguhnya bibitnya sudah terjadi sejak lama--di Jogja marak kasus kekerasan. Penyebabnya pun rupa-rupa.
Adapun kasus yang masih hangat pastilah yang terjadi tempo hari. Pada tanggal 4 Juni 2023 lalu. Hanya selang 3 hari dari Hari Lahir Pancasila. Hanya beberapa jam setelah Presiden Jokowi meninggalkan Jogja. Miris.
Makin terasa miris dan bikin saya emosional sebab sampai memorakporandakan Pendopo Agung Tamansiswa. Yang notabene merupakan bagian dari Museum Dewantara. Warisan luhur dari Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara.
Sungguh ironis!
Mei, di mana pada tanggal 2-nya adalah Hari Pendidikan Nasional, baru saja berlalu. Lhah kok begitu saja museum yang terkait erat dengan Hari Pendidikan Nasional itu menjadi korban aktivitas tak berbudaya?!
Kiranya Ki Hajar Dewantara menangis di alam sana.
Terusterang saja dari sekian banyak huru-hara di Jogja yang pernah saya alami, huru-hara tempo hari itulah yang paling menguras emosi.
Semua pihak boleh bilang telah berdamai. Akan tetapi, apakah perdamaian itu bisa mengembalikan kursi bersejarah peninggalan Ki Hajar Dewantara ke kondisi semula, sebelum dirusak massa?
Saya bisa memaklumi kalau ada ibu-ibu warga sekitar Pendopo Agung Tamansiswa yang sampai histeris menangis sebab tak ikhlas, atas apa yang menimpa kawasan bersejarah itu. Bahkan bisa jadi kalau ikut berada di TKP, saya juga ikutan histeris.
Penutup
Jadi, masih layakkah Jogja dikunjungi sebagai destinasi wisata impian? Masih pantaskah Jogja disebut-sebut sebagai tempat pulang yang paling dirindukan?
Masih istimewakah Jogja, jika aparat pengamanannya justru melokalisir/mengevakuasi massa perusuh di kawasan bersejarah? Tanpa izin pula. Yang berakibat fatal, yaitu rusaknya sebagian koleksi Museum Dewantara.
MUNGKIN benar bahwa Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan. Namun, MUNGKIN itu dulu. Kalau sekarang MUNGKIN komposisinya sudah berubah. MUNGKIN ada tambahan terbuat dari bara api anglo yang biasa untuk bikin kopi joss. MUNGKIN lho, ya. MUNGKIN ...
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H