Esok harinya ketika saya melaksanakan Shalat Idulfitri, mereka masih berpuasa. Â Nah. Faktor inilah yang membuat saya menunda waktu keberangkatan mudik.
Semula saya hendak mudik tanggal 21 April juga. Selepas Shalat Idulfitri. Namun, saya pikir-pikir hal itu bakalan merepotkan orang tua di kampung.
Bagaimana, ya? Kalau saya dan rombongan siang-siang muncul dari jauh, rasanya kok mengusik waktu rehat mereka.
Mau tidak mau mereka akan berusaha untuk menyuguhkan apalah-apalah sebab anak cucu baru tiba. Sementara mereka sedang berpuasa dan persiapan tenaga untuk bertakbiran malamnya. Alhasil, acara mudik ditunda hingga esok hari.
Sampai di sini semua tampak baik-baik saja. Akan tetapi, dampak dari penundaan mudik itu memunculkan diri sekian jam kemudian. Jelang Ashar anak mengeluh lapar.
Saya pun terhenyak sekaligus tersadar akan sesuatu. Kami tak punya ketupat Lebaran! Adanya kurma dan sedikit kue.
Jelas-jelas saya kurang perhitungan.
Keputusan penundaan waktu mudik terjadi jelang takbiran. Jadi, momentum membuat atau membeli ketupat untuk Lebaran sudah lewat.
Sebab semula berencana mudik seusai Shalat Idulfitri, saya hanya menyediakan roti untuk sarapan. Rencananya siang hari dalam perjalanan mudik, barulah mampir makan di sebuah tempat.
Terlebih ada pula acara Syawalan RW dengan menu bakso selepas shalat. Jadi, saya pikir perut bakalan aman sampai siang. Apa boleh buat kalau kenyataan berkata lain?
Tentu order makanan melalui aplikasi daring serta-merta saya jadikan solusi. Namun, itu solusi yang gagal. Yang buka hanya lapak makanan waralaba. Itu pun rata-rata sudah habis.
Ya sudah. Ujung-ujungnya kembali ke selera asal. Mi instan! Masih bersyukur punya stoknya. Coba kalau tidak? Makin berabe 'kan?