"Tunggu, tunggu. Aku ikutan."
Shaa dan Indah menghentikan langkah. Keduanya serempak menengok ke arah pemilik suara.
"Tunggu, ya. Aku ambil mukena dulu. Sama wudu."
"Cepetan. Ini Tarawih pertama. Pasti masjidnya penuh. Bisa enggak kebagian tempat kita," kata Indah.
"Ya."
Yang diultimatum menjawab singkat seraya berlari kecil ke kamarnya. Tak berapa lama dia sudah kembali. Katanya, "Ayo."
"Lhoh? Kamu enggak wudu sekalian, Nit?" Tanya Shaa.
Enggak. Nanti kalian kelamaan nunggu. Wudu di sana aja. Cari tempat dulu, baru wudu," jawab Nita.
"Kamu, sih. Kalau niat ikutan Tarawilh, mestinya 'kan siap-siap sejak awal. Bukan pas sudah azan baru lari-lari. Hari pertama gini biasanya 'kan cepat penuh. Nah, nah. Dengar itu. Malah sudah iqamat sekarang."
Shaa dan Indah tak menyahuti omelan Indah yang panjang lebar. Mereka telah memasuki halaman masjid.
"Aku mau wudu," kata Nita seraya menggamit Shaa. "Ini. Sekalian nitip tempat, ya."
Tanpa kata, Shaa menerima mukena dan sajadah Nita.
Untung saja masih ada tempat bagi mereka. Walaupun posisinya paling pinggir dan kurang nyaman, yang penting masih di bagian dalam masjid.
Di sisi lain, Nita justru diuntungkan oleh posisi tersebut. Dia menjadi mudah mencari kedua temannya.
Ampun, deh. Dunia kok kerap serasa tak adil banget? Dia yang bikin telat, dia pula yang malah diuntungkan.
"Besok enggak boleh kayak gini, Nit. Harus berangkat awal agar dapat tempat yang enak. Di sini enggak nyaman banget."
Saat kultum jelang Tarawih Indah kembali mengomeli Nita. Tentu dengan nada berbisik. Shaa cuma diam. Nita juga.
***
"Sebentar lagi Isya. Sana, Nit. Siap-siap."
"Astaga Indaaah. Hehehe .... Kamu dari kemarin kok ngomelin Nita terus," respons Shaa.
"Lhah gimana? Aku enggak mau kayak kemarin," sahut Indah.
"Sebetulnya aku bimbang. Tarawih enggak, ya?"
"Tarawih, dong. Ramadan-ramadan kok enggak Tarawih. Aneh." Kata Indah dengan nada gemas. Dia menatap tajam Nita.
"Maksudku, Tarawih di masjid atau enggak? Aku ragu-ragu," ujar Nita.
"Astaghfirullah. Mau shalat lho, kok pakai ragu-ragu? Gimana, sih?!" Sambar Indah.
"Aku bimbang  In." Nita berkata dengan nada sendu. Raut mukanya memancarkan keruwetan tertentu.
Indah yang makin habis kesabaran seketika merespons, "Nitaaa, Nitaaa. Mau Tarawih kok galau enggak jelas begitu?"
Nita terdiam memandanginya.
"Sudah, sudah. Yuk, Shaa. Kita siap-siap. Wudu. Sebentar lagi azan Isya." Indah mengajak Shaa bersiap-siap ke masjid. "Kamu juga segera bersiap, Nit. Kalau mau Tarawih juga."
"Eh?Jangan-jangan kamu kurang semangat gara-gara PHC, Nit?" Celetuk Shaa tak disangka-sangka.
"PHC? Apa itu?" Tanya Indah.
"Putus Hubungan Cinta."
Seketika Nita terkesiap mendengar celetukan Shaa.
"Oalaaah. Pantesan galau enggak karuan. Makan tuh cinta. Dengar ya, Nit. Kalau kamu sedang galau, justru harus ke masjid. Ngadu sama Allah. Bukan malah bimbang mau Tarawih atau tidak. Religius 'dikit kenapa?"
"Aduh, In. Jangan kenceng-kenceng gitulah. Kasihan Nita," lerai Shaa.
"Lho! Aku menyemangati. Mengajaknya ngadu sama Allah. Segala galau pasti akan ilang kalau mau ngadu ke Allah."
Indah kemudian beranjak ke belakang. Ia hendak mengambil air wudu. Shaa mengikutinya. Sementara Nita tak bersuara sama sekali. Masih terpaku di tempatnya berdiri.
***
"Kamu kenapa, Nit? Pulang Tarawih bukannya tambah semangat, eh ... malah tambah ruwet wajahmu. Kenapa, sih, kenapa? Patah hati berat? Halah, halah. Seganteng apa sih, mantan pacarmu itu? Sampai-sampai sebegitunya enggak bisa move on?"
"Sudahlah, In. Jangan membuat Nita tertekan. Mau ganteng, mau enggak, masalahnya 'kan putusnya barusan. Wajar dong, kalau belum bisa move on." Shaa berusaha menengahi.
"Habisnya ngeselin. Patah hati, frustrasi. Mestinya 'kan lumayan sembuh kalau ngadu ke Allah. Shalat. Tarawih berjamaah. Kamu pasti sambil melamun shalatnya."
"Sudahlah, In. Ngomelnya sudah," kata Shaa.
"Nita tuh yang harusnya menyudahi galaunya," tukas Indah.
"Enggak bakalan bisa kalau tiap hari Tarawih di masjid," sahut Nita mantap.
Indah dan Shaa terhenyak. Mereka pun hanya bisa melongo ketika mendengar perkataan Nita selanjutnya.
"Gimana bisa move on? Orang-orang malah meneriakkan namanya dalam shalat. Berkali-kali pula."
"Maksudnya gimana, Nit?" Tanya Indah.
"Mantanku bernama Amien."
"Oh! Bhahahahaha!
Tak ayal lagi. Tawa Indah dan Sha pun pecah sepecah-pecahnya.
***
Ngomong-ngomong, jika Anda menjadi Nita bagaimana? Memutuskan konsisten Tarawih di masjid atau di rumah? Jawab yang jujur  yuk.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H