Harus diakui bahwa terkadang ada pasangan yang cocoknya hanya sebagai sahabat. Hubungan mereka mengerikan dalam ikatan suami istri. Sama sekali tak bisa jika disuruh say no to KDRT. Sebaliknya, hubungan mereka dapat sangat manis dan harmonis manakala sebagai sahabat.
Idealnya sih, suami istri sekaligus bisa saling menjadi sahabat terdekat dan terbaik. Akan tetapi, itu idealnya. Kalau kenyataannya 'kan bisa beda?
Apa boleh buat? Mengingat terlalu banyak hubungan personal yang diwarnai KDRT psikis, sampai-sampai saya pesimis. Jangan-jangan memang tak ada hubungan personal tanpa KDRT sama sekali?
Hari ini, tanggal 14 Februari 2023, disambut banyak orang sebagai Hari Kasih Sayang. Valentine Day. Entah merupakan perayaan Valentine Day yang keberapa tahun.
Pasangan-pasangan yang saya ceritakan di atas dahulunya mungkin selalu merayakannya juga. Kalau benar begitu, sungguh patut disayangkan.
Mengapa hubungan manis yang pernah ada bisa terkikis? Memang belum sampai terkikis habis kalau masih sanggup bertahan untuk bersama. Namun, dampaknya pasti buruk. Antara lain ya timbulnya perilaku KDRT.
Sebagaimana halnya hidup, kondisi perasaan juga dinamis. Perasaan cinta kepada pasangan bisa saja rontok oleh waktu. Penyebabnya bermacam-macam, baik yang berasal dari diri kita maupun diri pasangan kita.
Mungkin kita lelah karena merasa telah banyak berkorban demi keutuhan hubungan, sedangkan pasangan kita tampak tidak tahu diri. Sebaliknya, pasangan kita juga merasakan hal yang sama.
Kalau faktanya seperti itu, berarti problemanya adalah kurang komunikasi. Sayang sekali perkara kurang komunikasi ini sering kali tidak disadari. Akibatnya, tidak kunjung diatasi walaupun telah berlarut-larut. Ujungnya ya KDRT, baik KDRT psikis maupun KDRT fisik.
Kalau dari tiga kisah di atas, sangat mungkin KDRT psikis tersebut terjadi gara-gara pihak laki-laki merasa superior. Merasa bahwa istrinya bakalan tidak berdaya secara ekonomi tanpa dirinya sebagai suami.
Perlu diketahui, semua perempuan yang saya ceritakan adalah ibu rumah tangga tulen walaupun ketiganya berpendidikan tinggi. Yang satu (dengan kesadaran sendiri) memilih fokus untuk mengurusi keluarga. Yang dua karena disuruh suami masing-masing.