Di Yogyakarta pula segala pikiran naif saya dahulu terluruskan. Â Misalnya tentang teman-teman SD saya yang dipondokkan di pesantren NU.
Simpel juga proses pelurusannya. Ternyata di fakultas tempat saya menimba ilmu, ada beberapa Gus dan Ning. Melalui mereka itulah saya tahu bahwa anak pesantren ada yang gondrong, boleh main gitar, pintar bicara tentang sastra, fasih berbahasa asing selain bahasa Arab, serta melakukan hal-hal lain di samping shalat dan bertadarus Alquran.
Sungguh sebuah kebetulan yang indah bahwa saya sefakultas dengan Ning Ienas Tsuraiyya, putri Gus Mus. Sefakultas pula dengan seorang Gus yang masih sepupunya.
Walaupun beda angkatan dan jurusan serta kenalnya cuma sambil lalu, saya cukup bisa melihat keseharian mereka. Yang ternyata biasa saja. Biasa saja yang saya maksudkan adalah idem ditto dengan mahasiswa pada umumnya.
Perlu diketahui, sebelumnya saya membayangkan bahwa penampilan seorang anak kiai berbeda dengan kalangan awam. Tidak pakai celana jeans, misalnya. Alhasil ketika melihat seorang Gus berambut gondrong dan bercelana jeans, takjublah saya.
Namun, tentu saja bobot internal mereka berbeda. Jelas lebih religius daripada kami yang awam, dong.
Andai kata saya tidak diberitahu kalau mereka Gus dan Ning, saya pasti tidak tahu kalau mereka putra-putra para kiai pemimpin pondok pesantren. Penampakan fisik memang sama dengan orang awam. Akan tetapi, "daleman" mereka jelas jauh lebih berkualitas.
Begitulah adanya. Kalau dipikir-pikir, memang unik proses saya memahami NU. Bergaul intensif dulu dengan Nahdliyin, baru paham perihal NU justru setelah hidup di lingkungan Muhammadiyah. Â
Mungkinkah di antara Anda sekalian ada yang punya pengalaman serupa?
Peci Pergaulan, Tantangan Masa Depan
Suatu ketika seorang teman Facebook mengadakan Give Away. Hadiahnya peci berbahan goni dengan bordiran logo NU. Saya lupa pertanyaannya apa, tetapi waktu itu amat antusias untuk mengikutinya. Sangat berharap menang sebab ingin memberikannya kepada adik.