Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, dan hobi blusukan ke tempat unik.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sebuah Cerita dan Harapan Terhadap NU

10 Februari 2023   11:46 Diperbarui: 10 Februari 2023   11:48 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang KEDUA melalui doa Qunut. Saat pertama kali menjadi makmum Shalat Subuh di Yogyakarta, saya pikir imam lupa tidak membaca doa Qunut. Ternyata memang tidak memakainya.

Yang KETIGA melalui Shalat Tarawih.  Saya terbiasa melakukan Shalat Tarawih 23 rakaat. Namun, Shalat Tarawih di Yogyakarta pada umumnya dilakukan 11 rakaat saja dengan tambahan kultum sebelum Shalat Tarawih dimulai.

Yang KEEMPAT melalui lantunan puji-pujian untuk Allah dan Rasul-Nya sebelum shalat fardlu berjamaah. Rupanya di Yogyakarta tidak lazim melantunkan puji-pujian serupa itu tatkala menunggu shalat berjamaah dimulai.

Tentu selain empat hal yang saya ceritakan di atas, masih ada hal-hal lain yang menyadarkan saya bahwa persaudaraan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tetaplah diwarnai perbedaan-perbedaan.

Bukan perbedaan ajaran Islamnya, melainkan perbedaan dalam cara mengamalkan ajarannya. Terkait soal khilafiyah saja. Itulah sebabnya saya santai-santai saja menghadapinya.

Kalau berada di lingkungan Nahdliyin ya balik ke tradisi NU. Kalau di lingkungan Muhammadiyah ya mengikuti tradisi Muhammadiyah. Sungguh, tidak ada yang perlu dipertentangkan dari keduanya. Masing-masing punya landasan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai umat, saya cuma wajib taat.

O, ya. Ada pengalaman unik saat mengajari anak shalat. Di rumah saya mengajarinya shalat dengan doa iftitah ala NU. Sementara di sekolah, dia diajari doa iftitah yang lazim dipakai oleh warga Muhammadiyah.

Anak saya yang tatkala itu masih kelas 1 SD pun protes, "Yang benar yang mana iniii? Pak Guru dan Bunda kok beda ngajarinnya?"

Pelan-pelan saya jelaskan bahwa tidak ada yang salah. Semua benar. Tinggal dipilih saja. Akhirnya anak saya berkata, "Mau pakai yang diajarkan di sekolah saja. Kalau ikut Bunda, nanti beda pas disuruh menghafalkan di depan kelas."

Saya tertawa-tawa atas keputusan cerdas si bocah. Alasannya strategis.

Yogyakarta telah membuat saya hidup di lingkungan non-Nahdliyin. Akan tetapi, hal itulah yang justru menyadarkan bahwa saya sebelumnya lekat dengan kultur NU. Inilah yang saya maksud dengan "berjumpa perbedaan yang menyadarkan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun