Tatkala meliarkan pandangan di sekitar panggung, saya justru menemukan fakta bahwa beberapa ibu dari anak-anak dan remaja yang tampil menari itu berjilbab. Sepintas lalu fakta tersebut sepele, tetapi kalau diresapi maknanya besar. Bukankah itu secuil bukti bahwa kemajemukan Indonesia bisa dijalani dengan harmoni?
KETIGA, tujuan utama terakhir adalah menonton pertunjukan Wayang Potehi. Ini merupakan wayang khas Tionghoa. Aslinya dari Tiongkok bagian selatan. Sudah pasti masuk ke bumi Nusantara sebab dibawa oleh para perantau dari Tiongkok.
Seiring berjalannya waktu, terjadi akulturasi dengan budaya setempat. Di kemudian hari Wayang Potehi pun menjadi salah satu kesenian tradisional Indonesia. Amboi! Betapa Indonesia memang majemuk dalam banyak lini.
Syukurlah tujuan menonton pertunjukan Wayang Potehi tercapai dengan maksimal. Kami tidak salah lokasi kali ini. Jadi, tidak telat. Kalau sampai terlambat datang dan gagal menontonnya, tentu bikin kecewa.
Di sini wawasan saya juga bertambah. Menjadi tahu kalau dalang Wayang Potehi tidak tampak sama sekali oleh penonton. Menjadi tahu juga musik pengiring pertunjukannya bagaimana? Cara dialog para wayangnya bagaimana?
Sebelumnya saya hanya tahu Wayang Potehi dari membaca dan melihat koleksi museum. Jadi, tidak sedang dimainkan. Kiranya inilah satu lagi manfaat jalan-jalan hujan di PBTY 2023 bagi saya.
Kami sepakat pulang walaupun pertunjukan Wayang Potehi belum usai. Mengapa? Karena sudah pukul sembilan lebih. Lagi pula, senyampang hujan sedang berubah menjadi gerimis tipis.
Penutup
Malam berikutnya salah satu dari kami ke PBTY 2023 lagi. Dia diminta mengantar ibunya yang ingin jalan-jalan juga. Namun, berangkatnya sekitar pukul empat sore. Ketika hari masih terang dan kebetulan tak sedang hujan.
Darinyalah akhirnya saya paham, pameran yang kami cari tidaklah digelar di rumah Tan Djin Sing, tetapi di Rumah Peranakan. Lokasinya selisih satu rumah saja dengan Rumah Tan Djin Sing.