Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, dan hobi blusukan ke tempat unik.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Suatu Malam di Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) XVIII Tahun 2023

5 Februari 2023   17:55 Diperbarui: 6 Februari 2023   13:41 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sultan saat membuka PBTY 2023 di Kampung Ketandan, Senin (30/1/2023)(Kompas.com/Wisang Seto Pangaribowo)

Hujan mendadak turun jelang Magrib. Seketika saya disergap galau karena lepas Magrib janjian dengan teman-teman untuk berkunjung ke Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) 2023.

Tatkala azan Magrib berkumandang, bahkan hingga saya pulang dari musala, hujan masih turun. Membuat saya berniat mengajukan pembatalan janjian.

Akan tetapi, rupanya satu teman sudah sampai di lokasi. Baiklah. Berarti takdir kami adalah ke PBTY XVIII malam itu juga. Sesuai dengan waktu yang disepakati sebelumnya.

Bergegas saya memesan ojek daring. Syukurlah bisa mendapatkannya walaupun sedikit lama. Biasalah. Kalau sedang hujan memang begitu.

Namun, hujan rupanya membawa hikmah tersendiri. Jalanan di sekitaran Titik Nol Yogyakarta dan Malioboro tidak padat. Alhasil, perjalanan saya lancar jaya. Kurang dari lima menit.

Sesampai di depan Kantor Gubernur DIY, yakni tempat saya turun, situasi berbalik 180 derajat. Di situ banyak sekali motor yang diparkir. Satu dua mobil juga ada. Di bawah derai hujan, orang-orang tetap hilir mudik.

Saya salah sangka! Semula saya kira bakalan sepi sebab hujan. Ternyata, oh, rupanya. Pengunjung PBTY 2023 tetap banyak.

Maskot Tahun Kelinci Air (Dokumentasi pribadi Agustina)
Maskot Tahun Kelinci Air (Dokumentasi pribadi Agustina)
Alhasil seturun dari boncengan ojek daring, saya berlari-lari kecil menerjang hujan yang tak bisa dibilang tipis. Menuju gapura masuk area PBTY. Tepatnya gapura utara yang sebelah barat. Itulah titik kumpul yang kami sepakati.

"Hai!"

Sapa saya begitu menemukan teman yang telah tiba duluan. Tempatnya berteduh tak cukup nyaman. Terkena tempias air hujan. Saya mengajak pindah tempat, tetapi ternyata tak ada tempat yang aman dari hujan. Akhirnya balik ke tempat semula, yaitu nyempil di sisi kanan gapura PBTY.

Kami pun tertawa-tawa sebab merasa kurang kerjaan. Malam-malam dan hujan, bukannya duduk nyaman di rumah, malah jalan-jalan basah.

Seketika saya teringat sesuatu. PBTY 'kan digelar dalam rangka Imlek. Sementara Imlek identik dengan hujan. Turunnya hujan adalah pertanda turunnya rezeki. Jadi, justru bikin galau bila Imlek tidak hujan sama sekali.

Namun, Alhamdulillah. Gara-gara kami "kurang kerjaan" itu, setidaknya ada satu ojek daring yang telah mendapatkan orderan tatkala hujan, yaitu dari saya tadi. Berbahagialah semua makhluk. Hujan memang rahmat dari-Nya SWT.

Cukup lama kami menunggu dua teman yang lain. Brrr! Cuaca dingin sempat membuat saya merasa lapar. Ditambah dengan fakta, semua orang yang melintas di depan kami menenteng makanan atau minuman.

Bahkan, ada yang santai sekali melahap makanannya sembari berjalan di tengah rinai hujan. Yang memegangi payung temannya. Eh, mungkin juga kekasihnya.

PBTY memang gudangnya jajanan enak walaupun harganya tak murah. Bawa seratus ribu rupiah bakalan tak cukup. Terlebih kalau datang dalam kondisi lapar. Terlebih lagi kalau Anda termasuk ke dalam golongan orang-orang yang lemah iman terhadap godaan aneka jajanan.

Perlu diketahui, di PBTY ini tersedia lapak makanan halal dan nonhalal. Satu lorong, yaitu ruas jalan yang tembus ke Pasar Beringharjo, disediakan khusus untuk makanan nonhalal. Selebihnya yang berada di lorong-lorong lain, tersedia rupa-rupa makanan halal.

Lorong makanan nonhalal (Dokumentasi pribadi Agustina)
Lorong makanan nonhalal (Dokumentasi pribadi Agustina)
Yamie halal (Dokumentasi pribadi Agustina)
Yamie halal (Dokumentasi pribadi Agustina)
Tak usah khawatir bila mudah tergoda untuk jajan, padahal lupa bawa uang tunai. Tenanglah. Para pemilik lapak banyak yang menerima pembayaran dengan QRIS, kok. 

Andai kata tetap butuh uang tunai, Anda pun bisa ke mobil ATM yang sengaja beroperasi di area PBTY 2023. Semudah itu pokoknya. Tentu asalkan rekening bank Anda ada isinya, ya.

Singkat cerita, setelah pasukan komplet kami berkeliling di seantero PBTY. Hujan sedikit menipis, tetapi menyisakan genangan. Mau tidak mau alas kaki menjadi lumayan basah.

Tujuan Utama ke PBTY 2023

Tentu kami punya tujuan utama ke PBTY itu. PERTAMA, ke Rumah Tan Djin Sing untuk nonton pameran. Namun, ternyata kami salah informasi. Tak ada pameran di situ.

Rumahnya memang dibuka. Pengunjung boleh masuk untuk melihat-lihat, tetapi tak banyak koleksi sejarah terkait Tan Djin Sing yang bisa dilihat. Karena rumah bersejarah tersebut kini difungsikan sebagai kantor Balai Pengelolaan Kawasan Sumbu Filosofi, justru informasi terkait Sumbu Filosofi yang kami peroleh.

Dokumentasi pribadi Agustina)
Dokumentasi pribadi Agustina)
Dokumentasi pribadi Agustina)
Dokumentasi pribadi Agustina)

Kecewakah kami? Sedikit saja. Bagaimanapun pengetahuan saya bertambah. Dari yang semula cuma tahu bagian luar, malam itu jadi bisa melihat-lihat bagian dalamnya.

Malah saya mendapatkan bonus pengalaman langka. Karena lokasi rumah Tan Djin Sing di lorong makanan nonhalal, saya jadi tahu wujud aneka kuliner dari daging babi. Kalau aromanya kurang begitu mencium. Saya 'kan masih setia bermasker, apalagi saat berada di kerumunan.

O, ya. Sejujurnya semula saya agak grogi saat melintasi lorong makanan nonhalal. Jilbab tentu membuat keberadaan saya di situ cukup menarik perhatian orang-orang.

Namun, kemudian saya sadar untuk tidak ke-GR-an. Jangan-jangan mereka memang tidak memperhatikan. Saya saja yang merasa jadi si paling diperhatikan. Penyakit akut ini, sih.

Lalu, apa tujuan utama KEDUA? Sudah pasti menyambangi panggung kesenian PBTY XVIII. Daya pikat terbesar dari panggung kesenian ini adalah pertunjukan barongsai. Akan tetapi, kami malah berpapasan dengan para pemain barongsai dalam perjalanan menuju panggung kesenian. Mereka hendak pulang.

Andai kata sebelumnya tidak salah panggung, tentu kami masih kebagian nonton pertunjukan barongsai. Dasar kami, ya. Kurang teliti membaca denah yang disediakan panitia. Maunya ke panggung kesenian, malah masuknya ke area panggung lomba karaoke.

Namun, tak jadi soal. Pertunjukan tari-tariannya juga menarik. Plus kian menyadarkan saya bahwa Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta memang untuk semua kalangan. Bukan hanya untuk orang-orang Tionghoa (Peranakan).

Kebetulan tiga tarian yang kami saksikan adalah jenis tari jawa kreasi baru. Menilik wajah-wajah para penari, saya berani menyimpulkan kalau mereka tak punya darah Tionghoa setetes pun.

Tatkala meliarkan pandangan di sekitar panggung, saya justru menemukan fakta bahwa beberapa ibu dari anak-anak dan remaja yang tampil menari itu berjilbab. Sepintas lalu fakta tersebut sepele, tetapi kalau diresapi maknanya besar. Bukankah itu secuil bukti bahwa kemajemukan Indonesia bisa dijalani dengan harmoni?

Dokumentasi pribadi Agustina)
Dokumentasi pribadi Agustina)
KETIGA, tujuan utama terakhir adalah menonton pertunjukan Wayang Potehi. Ini merupakan wayang khas Tionghoa. Aslinya dari Tiongkok bagian selatan. Sudah pasti masuk ke bumi Nusantara sebab dibawa oleh para perantau dari Tiongkok.

Seiring berjalannya waktu, terjadi akulturasi dengan budaya setempat. Di kemudian hari Wayang Potehi pun menjadi salah satu kesenian tradisional Indonesia. Amboi! Betapa Indonesia memang majemuk dalam banyak lini.

Syukurlah tujuan menonton pertunjukan Wayang Potehi tercapai dengan maksimal. Kami tidak salah lokasi kali ini. Jadi, tidak telat. Kalau sampai terlambat datang dan gagal menontonnya, tentu bikin kecewa.

Dokumentasi pribadi Agustina)
Dokumentasi pribadi Agustina)

Di sini wawasan saya juga bertambah. Menjadi tahu kalau dalang Wayang Potehi tidak tampak sama sekali oleh penonton. Menjadi tahu juga musik pengiring pertunjukannya bagaimana? Cara dialog para wayangnya bagaimana?

Sebelumnya saya hanya tahu Wayang Potehi dari membaca dan melihat koleksi museum. Jadi, tidak sedang dimainkan. Kiranya inilah satu lagi manfaat jalan-jalan hujan di PBTY 2023 bagi saya.

Kami sepakat pulang walaupun pertunjukan Wayang Potehi belum usai. Mengapa? Karena sudah pukul sembilan lebih. Lagi pula, senyampang hujan sedang berubah menjadi gerimis tipis.

Penutup

Malam berikutnya salah satu dari kami ke PBTY 2023 lagi. Dia diminta mengantar ibunya yang ingin jalan-jalan juga. Namun, berangkatnya sekitar pukul empat sore. Ketika hari masih terang dan kebetulan tak sedang hujan.

Darinyalah akhirnya saya paham, pameran yang kami cari tidaklah digelar di rumah Tan Djin Sing, tetapi di Rumah Peranakan. Lokasinya selisih satu rumah saja dengan Rumah Tan Djin Sing.

Semalam mestinya kami tinggal geser ke selatan beberapa langkah saja. Hahaha! Dasar belum berjodoh. Semoga kami panjang usia dan tahun depan bisa ke Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta lagi.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun