Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, dan hobi blusukan ke tempat unik.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Radio Berhenti Mengudara? Tiru RRI Pro 3 Saja

7 Desember 2022   00:53 Diperbarui: 7 Desember 2022   00:57 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai pendengar setia radio, saya terdorong ikut berbagi cerita terkait radio, yang dijadikan topik pilihan kompasiana.

Saya 'kan anak radio banget. Tiada hari tanpa radio pokoknya. Hari-hari terasa kurang legit tanpa mendengarkan radio.

Perlu diketahui, hingga kini yang saya dengarkan the real radio. Maksudnya bukan mendengarkan radio melalui aplikasi daring, melainkan dengan menyetel radio zadoel.

Plek ketiplek seperti zaman dulu. Radionya bisa disentuh. Bisa diusap-usap pakai lap (baca: dibersihkan). Bisa pula diatur-atur antenanya.

Pakai acara memutar tombol volume untuk mengatur suara. Pun, saat mencari frekuensi yang pas dengan selera.

Tentunya pula pakai jengkel-jengkel 'dikit tatkala saluran radio kesayangan tak kunjung ketemu atau sudah ketemu, tetapi suaranya kemresek melulu.

Mengapa saya setia berzadoel ria begitu? Simpel saja jawabannya. Karena di rumah masih ada Polytron Stereo Radio Cassette Recorder yang masih berfungsi dengan baik.

Jadi, si Polytron itu saya pertahankan dengan alasan praktis fungsional. Bukan  dengan alasan prestisius, misalnya demi melengkapi desain interior rumah agar terkesan vintage.


Tidak pula dengan alasan merawat kenangan. Kalau dikaitkan dengan kenangan, si Polytron itu justru sudah saya tendang jauh-jauh karena mengandung kenangan pahit.

Lagi pula, mendengarkan radio melalui si Polytron itu hemat kuota data internet.  Rasanya juga lebih mantap ketimbang mendengarkan radio melalui audio streaming.

Mungkin perkara kemantapan ini disebabkan diri saya yang berstatus remaja 90-an. Karena rupanya bagi anak saya yang genZy, mendengarkan radio melalui audio streaming tak ada bedanya dengan mendengarkan si Polytron.

Dia bilang, saya lebay dan terjebak masa lalu dalam hal menikmati radio.

Baiklah. Tak jadi soal kalau kami berbeda pandangan terkait cara menikmati radio. Namun, yang jelas saya cukup sukses meracuninya dengan radio.

Terbukti, dia baik-baik saja walaupun di sepanjang waktu radio di rumah menyala terus. Hanya mati tatkala waktu shalat dan waktu tidur.

Ia tidak protes. Yang berarti tidak merasa terganggu. Justru sesekali ia iseng memindah-mindah saluran untuk mencari stasiun radio yang mengudarakan lagu-lagu KPop. Ia senang sekali kalau berhasil menemukannya.

Senangnya karena dua hal. Pertama, karena bisa mendengarkan lagu-lagu favoritnya. Kedua, ia merasa makin piawai memutar tombol pencari saluran (channel).

Jangan salah. Ternyata memutar tombol-tombol radio itu sebentuk keterampilan, lho. Bagi remaja tempo doeloe memang perkara sepele. Akan tetapi, tidak demikian halnya bagi bocah genZy.

Tatkala pertama kali kenal si Polytron, barbar sekali cara anak saya memainkan tombol-tombolnya. Dampaknya, suara yang terdengar dari radio bikin telinga terganggu.

Ia pun kesal sekali karena tak bisa mengepaskan tombol di salah satu stasiun radio. Kemudian saya katakan kepadanya, "Mutar tombolnya pelan-pelan. Pakai perasaan."

Syukurlah lama-kelamaan dia mahir menyetel radio zadoel itu. Jadi, si Polytron tak lagi teraniaya manakala dia mulai memutar-mutar tombolnya.

Saya pikir-pikir, saya seperti melakukan regenerasi pendengar. Sukses pula mentransfer ilmu kepiawaian memutar tombol radio. Di sisi lain, si bocah genZy sukses mengenalkan saya dengan dendangan Blackpink dan BTS.

Kiranya hal tersebut menjadi momentum manis bagi saya, anak saya, dan radio, pada saat radio konon sedang meredup pamornya.

Begitulah cerita keseharian saya bersama radio. Jadi kalau ditanya, "Kompasianer, masihkah kamu mendengarkan radio?"

Serta-merta saya jawab, "Masih banget, dong. Bahkan saat menyelesaikan tulisan ini, saya sembari mendengarkan RRI Pro 3. Yang jargonnya, Pro 3 Jaringan Berita Nasional.

Saya memang mengandalkan RRI Pro 3 untuk mengetahui berita terkini, segala rupa informasi penting, dan hiburan.

Bukannya anti internet. Hanya saja selain butuh kuota data, kalau baca berita di internet saya butuh waktu khusus. Sementara kalau menyimak dari radio, saya bisa sambil mengerjakan hal lain.

Tahukah Anda? Acara apa yang sedang saya dengarkan?

Hmm. Sembari menulis ini saya sedang DEBER Piala Dunia Qotar 2022. Timnas Maroko dan Spanyol yang bertanding.

Iya. DEBER, dengar bersama. Kolega si NOBAR, nonton bareng.

Mungkin Anda berkomentar, "Apa asyiknya mendengarkan pertandingan sepakbola?"

Asyik sekali, dong. Sembari menyimak penyiar menceritakan situasi di lapangan, daya imajinasi kita dirangsang untuk memvisualisasikan cerita penyiar tersebut.

Mungkin Anda berpikir bahwa acara DEBER ini iseng-iseng belaka. Saya iseng, radionya lebih iseng lagi. 'Kan sudah ada TV? Kok masih mengadakan DEBER?

O, sama sekali tidak iseng dan bukan program yang sia-sia.

Begini alasannya ...

Beberapa waktu lalu, di acara "Indonesia Menyapa Pagi", seorang pendengar setia RRI Pro 3 menelepon. Ia menelepon untuk memilih topik pilihan yang ditawarkan redaksi.

Kemudian sang penyiar bertanya, "Pendapat Bapak melihat pertandingan semalam gimana?"

Dijawab, "Mohon maaf, terusterang saja saya ini tunanetra. Jadi, tidak bisa melihat. Hanya bisa memdengarkan hasilnya. Kapan nih, RRI Pro 3 mengadakan dengar bareng?"

Tatkala itu sang penyiar menjawab, "Iya, mohon maaf, Pak. Belum ada. Mungkin nanti kalau babak 16 besar, ya?"

Ternyata, oh, rupanya. Jawaban tanpa nada janji itu diwujudkan. Alhasil, saya sudah beberapa kali ikutan DEBER.

Sebuah interaksi yang keren, bukan? Saya pikir, kalau model hubungan yang dibangun penyiar dengan para pendengarnya sehangat itu, radio bakalan tetap eksis.

Asal tahu saja, pada masa lalu ketika TV belum mampu dipunyai oleh khalayak umum, semua pecandu sepakbola sebetulnya melakukan DEBER. Terutama ketika ada piala dunia atau ajang kejuaraan penting lainnya.

Saya tahu pasti hal itu. Saya 'kan pelaku DEBER waktu kecil dulu. Ikut-ikutan bapak.

Iya. DEBER adalah kenangan manis saya bersama bapak, semasa radio sedang jaya-jayanya. Jadi, sekarang saya sedang memutar kenangan manis itu.

Berpijak pada keseharian dan pengalaman bersama radio, saya kok optimis dengan masa depannya.

Radio berhenti  mengudara .... Masak, sih? Apa iya begitu? Rasanya stasiun-stasiun radio yang saya simak tetap rajin mengudara? Lebih-lebih RRI Pro 3 yang menjadi favorit saya. Malah sepertinya kian eksis.

Ngomong-ngomong, RRI Pro 3 ini telah membuat radio kembali relevan dengan pendengarnya. Langkah yang telah ditempuhnya antara lain dengan menyediakan sarana audio streaming dan RRI Net.

Jadi, kalau pendengar ingin melihat wajah sang penyiar, terfasilitasi dengan RRI Net. Tidak perlu repot-repot datang langsung ke studionya.

Berkaca pada apa yang dilakukan RRI, terkhusus RRI Pro 3, saya pikir radio berhenti mengudara tak bakalan terjadi jika radio yang bersangkutan mau membuat terobosan kekinian.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun