Dia bilang, saya lebay dan terjebak masa lalu dalam hal menikmati radio.
Baiklah. Tak jadi soal kalau kami berbeda pandangan terkait cara menikmati radio. Namun, yang jelas saya cukup sukses meracuninya dengan radio.
Terbukti, dia baik-baik saja walaupun di sepanjang waktu radio di rumah menyala terus. Hanya mati tatkala waktu shalat dan waktu tidur.
Ia tidak protes. Yang berarti tidak merasa terganggu. Justru sesekali ia iseng memindah-mindah saluran untuk mencari stasiun radio yang mengudarakan lagu-lagu KPop. Ia senang sekali kalau berhasil menemukannya.
Senangnya karena dua hal. Pertama, karena bisa mendengarkan lagu-lagu favoritnya. Kedua, ia merasa makin piawai memutar tombol pencari saluran (channel).
Jangan salah. Ternyata memutar tombol-tombol radio itu sebentuk keterampilan, lho. Bagi remaja tempo doeloe memang perkara sepele. Akan tetapi, tidak demikian halnya bagi bocah genZy.
Tatkala pertama kali kenal si Polytron, barbar sekali cara anak saya memainkan tombol-tombolnya. Dampaknya, suara yang terdengar dari radio bikin telinga terganggu.
Ia pun kesal sekali karena tak bisa mengepaskan tombol di salah satu stasiun radio. Kemudian saya katakan kepadanya, "Mutar tombolnya pelan-pelan. Pakai perasaan."
Syukurlah lama-kelamaan dia mahir menyetel radio zadoel itu. Jadi, si Polytron tak lagi teraniaya manakala dia mulai memutar-mutar tombolnya.
Saya pikir-pikir, saya seperti melakukan regenerasi pendengar. Sukses pula mentransfer ilmu kepiawaian memutar tombol radio. Di sisi lain, si bocah genZy sukses mengenalkan saya dengan dendangan Blackpink dan BTS.
Kiranya hal tersebut menjadi momentum manis bagi saya, anak saya, dan radio, pada saat radio konon sedang meredup pamornya.