Sementara yang disebut Sekaten, yang sejak tanggal 1-7 digelar di Plataran Masjid Gedhe Kraton, merupakan upacara tradisional yang diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Pelaksanaannya setahun sekali, pada tanggal 5-11 Rabi'ul Awal. Kalau dalam kalender Jawa, bulan Rabi'ul Awal itu disebut bulan Mulud.
Upacara Sekaten diawali dengan acara Miyos Gongso dan diakhiri dengan Kondur Gongso.
Miyos Gongso adalah prosesi keluarnya sepasang gamelan dari Kraton Yogyakarta, yang kemudian ditempatkan di Pagongan Lor dan Pagongan Kidul, yang berlokasi di Plataran Masjid Gedhe.
Selama 7 hari berturut-turut, kedua perangkat gamelan itu dimainkan sejak pagi hingga malam, secara bergantian. Kalau gamelan di  Pagongan Lor dimainkan, yang di Pagongan Kidul tidak dimainkan.
Perlu diketahui, sepasang gamelan tersebut punya nama. Yang diletakkan di Pagongan Lor bernama Kyahi Nagawilaga. Yang di Pagongan Kidul bernama Kyahi Gunturmadu.
Pada hari ke-7 malam hari, ada prosesi Kondur Gongso. Yang berarti sepasang gamelan yang telah bertugas sepekan penuh itu dibawa masuk lagi ke kraton.
Namun, sebelum dua perangkat gamelan diajak pulang, ada prosesi yang mendahului. Prosesi yang dimaksud adalah sebar udhik-udhik yang dilakukan oleh Ngarsa Dalem Sultan HB X.
Sebar udhik-udhik dimulai dari Pagongan Kidul, lalu ke Pagongan Lor, dan terakhir di dalam Masjid Gedhe Kraton. Udhik-udhik ini terdiri atas bunga, uang logam, beras, dan biji-bijian. Tentu ada maknanya, yaitu sebagai lambang sedekah raja kepada rakyatnya.
Selesai sebar udhik-udhik, Ngarsa Dalem Sultan HB X mendengarkan pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW. Uniknya, beliau memakai simping melati di telinga. Itu sebagai simbol bahwa raja senantiasa mendengarkan segala keluh kesah rakyatnya.
Nah. Sejak dulu saya penasaran, apakah Ngarsa Dalem lelah atau tidak duduk bersila berlama-lama, demi menyimak pembacaan riwayat yang panjang begitu. Hahaha!