Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, dan hobi blusukan ke tempat unik.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Nonton "Loz Jogjakartoz" di Bioskop Sonobudoyo Yogyakarta

26 September 2022   23:46 Diperbarui: 26 September 2022   23:46 1370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin Anda yang tinggal di Yogyakarta dan sekitarnya akan sedikit mengangkat alis tatkala membaca judul tulisan ini. Bioskop Sonobudoyo? Maksudnya mungkin Museum Sonobudoyo, ya? Bukan bioskop?

Mboteeen (bahasa Jawa yang berarti 'tidak'). Saya tidak salah tulis, kok. Itu memang benar Bioskop Sonobudoyo. Yang sesuai dengan namanya, bioskop tersebut merupakan bagian dari Museum Sonobudoyo. 

Lokasi Bioskop Sonobudoyo sangat strategis. Cuma di sebelah selatan perempatan Titik Nol Yogyakarta. Di Jalan Pangurakan, bersebelahan dengan Gedung Eks KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) DIY, yang kini menjadi Ruang Pamer Kontemporer Museum Sonobudoyo.

Tepatnya berada di sisi barat jalan. Jadi, menghadap ke timur (berseberangan dengan Loop Station dan tempat parkir Kantor Pos Besar). Di belakang kursi-kursi yang biasa dipakai sebagai properti berfoto dan tempat rehat wisatawan.

Hmm. Saya kok yakin bahwa setelah membaca deskripsi lokasinya, plus mencermati fotonya, ada di antara Anda sekalian yang kemudian tersadarkan bahwa dahulu pernah berjam-jam nongkrong di depan Bioskop Sonobudoyo. 

Lucu, ya? Ibarat setan di depan mata tak tampak, tapi mantan di kejauhan terlihat jelas. Namun, tenang saja. Sekarang toh sudah tahu setelah membaca tulisan ini.

Tak perlu merasa malu. Terlebih kalau Anda bukan warga setempat. Yang warga setempat pun belum semua tahu, kok.

Lagi pula pada dasarnya, Bioskop Sonobudoyo masih muda usia. Baru hadir secara resmi pada tahun 2019. Yang berarti belum banyak disosialisasikan, lalu keburu diterpa pandemi Covid-19.

Baiklah. Pembahasan bioskopnya stop sampai di sini, ya. Mari lanjut dengan pembahasan "Loz Jogjakartoz"-nya.

"Loz Jogjakartoz"

Sebagaimana yang tersurat pada judul tulisan ini, "Loz Jogjakartoz" adalah film yang saya tonton di Bioskop Sonobudoyo. Sebuah judul yang cukup bikin kepo 'kan? Nama Yogyakarta-Jogjakarta dimain-mainkan sedemikian rupa sehingga bernuansa Latin dan beraroma mafia-mafiaan.

Menarik!

Entah mengapa ingatan saya serta-merta melayang pada klitih, begitu membaca judul  "Loz Jogjakartoz" di deretan jadwal pemutaran film yang dibagikan Bioskop Sonobudoyo.

Namun, ternyata saya salah. Itu bukan film tentang klitih. Justru pada salah satu adegan ada tokoh yang menyepelekan klitih, "Halah. Palingan mung bocah klitih."

O la la !

Sampai di sini, Anda sekalian pasti membatin. Kalau klitih saja disepelekan oleh tokoh "Loz Jogjakartos", berarti kejahatan klitih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kejahatan yang dilakukan tokoh dalam film tersebut?

Iya. Memang begitu. Klitih ternyata enggak ada tajinya dalam "Loz Jogjakartoz".

Anda yang tahu ulah klitih di Yogyakarta tentu bisa membayangkan. Kalau klitih saja sampai dianggap sepele, padahal sudah termasuk mengerikan, berarti yang menganggapnya sepele itu jauh lebih mengerikan.

Begitulah adanya. Film "Loz Jogjakartoz" memang berkisah tentang dunia malam di Yogyakarta yang rupanya mengerikan. Bukan dunia malam yang gemerlap hip hip hura, bukan pula dunia malam aliran Sarkem yang penuh syahwatisme, melainkan dunia malam yang kelam dan keras beraroma perang.

Yeah .... Film tersebut menggambarkan peliknya hubungan dan persaingan di antara sesama penguasa Yogyakarta Undercover. Menunjukkan betapa Yogyakarta tidaklah seromantis dalam bayangan para wisatawan.

Alih-alih romantis. Yogyakarta dalam "Loz Jogjakartoz" justru berwajah gahar bin sangar. Ada oknum polisi, politisi, pimpinan ormas keagamaan, dan preman yang saling memanfaatkan demi menggenggam tujuan masing-masing.

Sudah pasti interaksi mereka yang bersifat simbiosis mutualisme itu berlangsung secara "undercover". Yang justru tampak di permukaan, masing-masing tidak saling melakukan relasi yang menguntungkan.

Dampaknya, masyarakat awam yang polos-polos pun terpedaya. Tak menyangka bahwa ada "geliat kehidupan lain" di kota mereka yang konon romantis.

Huft! Menonton "Loz Jogjakartoz" membuat perasaan saya sedikit kacau. Munhkin sama kacau dengan balita yang tiba-tiba meletus balon hijaunya.

Iya, sih. Apa yang ditampilkan "Loz Jogjakartoz" memang fakta-fakta dalam sebuah film. Hanya saja saya meyakini, semua itu berangkat dari dunia nyata. Tak sekadar kisah fiksi.

Sebagai warga Yogyakarta yang pernah tinggal di berbagai sudutnya, baik di daerah pinggiran maupun tepat di jantung kota, sedikit banyak saya tahulah desas-desus tentang "sisi lain" kota yang saya tinggali. Yang selama ini terselimuti oleh sederet hal romantis dan peromantisan di berbagai lini.

Akan tetapi, saat menonton "Loz  Jogjakartos" tetap saja saya terkaget-kaget. Saya tahu film tersebut bukan film dokumenter, tetapi tetap saja tersirat cemas di dada, "Wah! Ternyata begini amat kondisi riil kotaku?!"

O, ya. Tokoh utama film tersebut adalah seekor burung dalam sangkar yang tak pernah diperlihatkan sosoknya. Hanya dideskripsikan sebagai burung besar, bagus, dan bernilai ratusan juta rupiah.

Si burung itulah yang menggerakkan cerita. Bagaimana caranya? Ada, deh.

Saya tak akan memberitahukannya di sini. Silakan tonton sendiri di Bioskop Sonobudoyo bilamana sedang berada di Yogyakarta terkhusus bagian Jalan Pangurakan. Hehehe ....

Sebaiknya Ada Pengaturan Usia Terkait Genre Film

Ada adegan sadis, yaitu penganiayaan sampai mati dalam "Loz Jogjakartoz". Sesuatu yang logis karena secara keseluruhan, film memang menampilkan adegan-adegan kekerasan. Dengan latar waktu malam pula.

Alhasil, di sepanjang film adanya ya suasana gelap-gelap mencekam gitu. Tidak cocok bagi anak-anak di bawah umur. Untunglah tak ada anak-anak ketika saya menontonnya.

Akan tetapi, bukankah ada kemungkinan di kesempatan berbeda, ada anak-anak yang ikut menonton? Karena tak ada pembatasan usia, hal demikian bisa saja terjadi.

Jadi saya pikir, pihak Bioskop Sonobudoyo harus memperhatikan kondisi ini. Kalau konsepnya bioskop untuk semua umur, lebih bijak kalau yang diputar film-film aman.

Tata Cara Menonton

Bioskop Sonobudoyo bisa ditonton secara gratis. Tak perlu reservasi terlebih dahulu. Asalkan pas jadwal pemutaran film kita datang, niscaya diperbolehkan menonton.

Namun, sampai saat ini masih harus taat prokes. Pakai masker, cek suhu tubuh. Bila suhu tubuh oke barulah diperbolehkan masuk.

Setelahnya kita diminta mengisi formulir kunjungan daring. Tak perlu cemas bila Anda gaptek sehingga kesulitan mengisinya. Ada petugas yang sigap membantu, kok.

Kelar mengisi formulir tersebut, kita akan diberi nomor pengambilan sandal khusus.

Dokpri/Agustina
Dokpri/Agustina

Jadi sebelum memasuki ruangan pemutaran film, penonton diminta mengganti alas kaki dengan sandal batik yang disediakan Bioskop Sonobudoyo. Sementara alas kaki kita disimpan di loker sesuai dengan nomor yang kita terima.

***

Demikian pengalaman saya tempo hari, saat menonton "Loz Jogjakartoz" di Bioskop Sonobudoyo. Semoga berfaedah, minimal bisa menghibur.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun