Sebagaimana yang tersurat pada judul tulisan ini, "Loz Jogjakartoz" adalah film yang saya tonton di Bioskop Sonobudoyo. Sebuah judul yang cukup bikin kepo 'kan? Nama Yogyakarta-Jogjakarta dimain-mainkan sedemikian rupa sehingga bernuansa Latin dan beraroma mafia-mafiaan.
Menarik!
Entah mengapa ingatan saya serta-merta melayang pada klitih, begitu membaca judul  "Loz Jogjakartoz" di deretan jadwal pemutaran film yang dibagikan Bioskop Sonobudoyo.
Namun, ternyata saya salah. Itu bukan film tentang klitih. Justru pada salah satu adegan ada tokoh yang menyepelekan klitih, "Halah. Palingan mung bocah klitih."
O la la !
Sampai di sini, Anda sekalian pasti membatin. Kalau klitih saja disepelekan oleh tokoh "Loz Jogjakartos", berarti kejahatan klitih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kejahatan yang dilakukan tokoh dalam film tersebut?
Iya. Memang begitu. Klitih ternyata enggak ada tajinya dalam "Loz Jogjakartoz".
Anda yang tahu ulah klitih di Yogyakarta tentu bisa membayangkan. Kalau klitih saja sampai dianggap sepele, padahal sudah termasuk mengerikan, berarti yang menganggapnya sepele itu jauh lebih mengerikan.
Begitulah adanya. Film "Loz Jogjakartoz" memang berkisah tentang dunia malam di Yogyakarta yang rupanya mengerikan. Bukan dunia malam yang gemerlap hip hip hura, bukan pula dunia malam aliran Sarkem yang penuh syahwatisme, melainkan dunia malam yang kelam dan keras beraroma perang.
Yeah .... Film tersebut menggambarkan peliknya hubungan dan persaingan di antara sesama penguasa Yogyakarta Undercover. Menunjukkan betapa Yogyakarta tidaklah seromantis dalam bayangan para wisatawan.
Alih-alih romantis. Yogyakarta dalam "Loz Jogjakartoz" justru berwajah gahar bin sangar. Ada oknum polisi, politisi, pimpinan ormas keagamaan, dan preman yang saling memanfaatkan demi menggenggam tujuan masing-masing.