"KTP-nya jadi besok, ya. Diambil di loket paling depan sana. Jamnya sama dengan sekarang. Jangan lupa bawa fotokopi KK untuk mengambilnya," kata petugas di balik meja.Â
Spontan saya dan anak berpandangan. Dalam diam kami kompak menggerutu, "Yaelaaah. Balik lagi, deeeh."Â
***
Oktober ini putri semata wayang saya menginjak usia 17 tahun. Berarti tiba saatnya untuk membuat KTP. Oh, betapa waktu melesat demikian cepat. Rasanya baru kemarin melahirkannya. Kok tahu-tahu sudah bikin KTP.
Semula saya bersyukur karena diinformasikan bahwa pembuatan KTP bisa secara daring. Tinggal login ke aplikasi JSS (Jogja Smart Service), lalu mendaftar di bagian permohonan KTP. Tentu dengan memasukkan data-data yang diperlukan.Â
Selanjutnya tinggal menunggu konfirmasi jadwal berfoto, kemudian datang ke kantor dindukcapil (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil), dan selesai urusan. Pulang sudah membawa KTP baru.Â
Dalam pemahaman saya, proses akan berjalan dengan manis. Begitu selesai mengajukan permohonan, bakalan langsung ada notifikasi atau apalah sebutannya yang memberikan kepastian.
Akan tetapi, saya dan anak justru dibikin galau. Setelah kami tunggu bermenit-menit, tak ada respons apa pun terhadap pendaftaran yang baru saja dilakukan.Â
Anak mengecek akun saya di JSS sekali lagi. Tetap tak ada respons apa pun di situ. Saya cek email dan WA pun sama saja. Tak ada respons apa pun. Akhirnya kami putuskan untuk menunggu dengan tidak sabar.
Esok harinya saya kembali cek ricek email dan WA. Tetap nihil hasilnya. Anak pun saya minta cek ke JSS. Nihil juga. Alhasil, kami sukses dibuat galau sekaligus beranjak kesal.
"Apa maksudnya, nih? Kok tak ada respons sama sekali begini? Kita mesti ngapain setelah ndaftar? Foto di mana? Cetak KTP-nya kapan?" Gerutu saya panjang lebar.
Hari berikutnya kami masih menggalau gara-gara hal tersebut. Sampai sore tak ada email ataupun WA pemberitahuan dari instansi yang berwenang.Â
Saya kemudian menyuruh anak untuk kembali menengok akun JSS dengan teliti. Siapa tahu sebelumnya ia tak begitu teliti sehingga tak melihat adanya respons.
Setelah sekian menit anak saya berkata, "Naaah. Kalau sekarang ada responsnya, Bund. Kemarin memang enggak ada, kok."
Syukurlah sudah ada respons. Isinya pemberitahuan bahwa pengajuan permohonan KTP baru telah diterima dindukcapil. Selanjutnya, si pemohon diminta datang ke MPP (Mal Pelayanan Publik) untuk pengambilan foto dan cetak KTP.Â
Waktunya Senin-Jumat antara pukul 08.00-11.30 WIB. Dibatasi dalam sehari hanya untuk 45 pemohon. Tiap pemohon diharuskan menyerahkan fotokopi KK (Kartu Keluarga).Â
"Kenapa ngasih jadwalnya cuma sampai Jumat ya, Bund? Mana jamnya cuma sampai setengah dua belas? Pemohon KTP baru pada umumnya 'kan masih sekolah?"Â
Saya tertegun mendengar celetukan si bocah. Benar juga apa yang dikatakannya. Berarti para pemohon KTP yang berstatus pelajar butuh satu hari izin untuk tak masuk sekolah, demi menuntaskan proses bikin KTP.Â
Kalau sekolahnya daring, sejauh memungkinkan masih bisa diikuti sembari mengantre. Sementara yang kebetulan memperoleh giliran bersekolah luring, bakalan dirugikan. Sudahlah momen berangkat ke sekolah langka gara-gara pandemi, eh, masih pula mesti disunat urusan KTP.
***
....
Anak saya berbisik, "Berarti besok izin enggak masuk sekolah?"
Spontan saya menggeleng. Saya sungguh tidak ikhlas kalau pas giliran masuk sekolah, ia malah tidak berangkat hanya gara-gara mengambil KTP.
Terlebih ia siswa SMK kelas XI. Yang berarti mata pelajarannya mayoritas berpraktik. Sudah cukuplah jam terbang berpraktiknya terdiskon besar gara-gara pandemi covid-19. Tak usah dikasih diskon lagi.
Iya, KTP memang penting. Kami tidak menyepelekan. Buktinya, satu hari khusus kami dedikasikan untuk menuntaskan proses pembuatannya. Bahkan, kami rela datang dan mengantre sejak kantor belum dibuka.
Akan tetapi, tidak masuk sekolah luring semasa PTM (Pembelajaran Tatap Muka) hanya demi mengambil KTP, rasanya kok tidak menguntungkan. Terlebih "judulnya" mengurus KTP secara daring.Â
Terlebih lagi kami sudah menghabiskan pagi untuk menuntaskan proses pembuatannya. Kami tak komplain untuk datang sebab memang harus berfoto dan  membubuhkan tanda tangan.Â
Itu pun kami sengaja memilih datang pagi-pagi, pada hari ketika anak terjadwal masuk siang. Dengan harapan, jelang siang sudah bisa pulang sehingga ia cukup waktu untuk persiapan ke sekolah. Kalau esok pagi mesti ambil KTP sendiri, sedangkan jadwal sekolahnya pagi, berarti tidak bisa bersekolah 'kan?
Alhasil dengan semangat orang tua/wali siswa yang tak mau rugi bayar uang sekolah, saya bertanya kepada petugas, "Maaf, Bu. Apakah harus diambil sendiri oleh si pemohon? Besok jadwalnya masuk sekolah eee ...."
Syukurlah jawabannya boleh. Namun, beliau mewanti-wanti agar saya tak lupa membawa fotokopian KK. Ya sudah. Setelah mendapatkan kepastian yang melegakan itu, kami bergegas mengorder taksi daring. Pulang.Â
Hanya saja, saya memiliki sedikit catatan sebagai "kesan". Yeah, apa boleh buat? Rupanya ekspektasi saya ketinggian terhadap sistem pembuatan KTP secara daring.
Saya kira begitu datang ke MPP untuk berfoto dan tandatangan, kemudian tinggal menunggu KTP jadi selama satu atau dua jam. Jadi, pulang sudah mengantongi KTP baru. Ternyata malah baru jadi esok hari. Berarti boros waktu, energi, dan ongkos transpor.
Di sinilah saya bertanya-tanya. Tentu dengan sedikit kecewa sedikit gemas. "Kalau caranya begini, apa bedanya dengan bikin KTP secara luring? Toh sama-sama perlu bolak-balik ke instansi terkait untuk mengurusnya?"
Bahkan menurut saya, lebih enak sistem zadoelnya. Kita tinggal datang ke kantor kelurahan dan kecamatan sambil membawa berkas-berkas yang diperlukan. Nanti mengambil KTP-nya di kelurahan.Â
Sama-sama bolak-balik, tetapi tak digalaukan oleh aplikasi JSS. Lagi pula, dahulu saya tidak perlu sampai jauh-jauh ke kantor dindukcapil ataupun balaikota. Paling tinggi mesti mengurus di kantor kemantren (kecamatan), yang berlokasi relatif dekat dari tempat tinggal.Â
O, ya. Saya pun merasakan adanya pemborosan kertas dalam alur pembuatan KTP yang dilabeli secara daring itu. Pertama, fotokopian KK yang dikumpulkan saat hendak berfoto. Kedua, fotokopian KK yang dikumpulkan ketika akan mengambil KTP keesokan harinya. Ah, entahlah. Bingung saya memahami alurnya.
***
Demikian pengalaman saya mendampingi anak bikin KTP baru. Semoga "kesan" saya di atas dapat menjadi masukan dan pertimbangan bagi instansi terkait. Yup! Saya berharap ada salah satu pembaca tulisan ini yang berwenang terhadap urusan pembuatan KTP secara daring tersebut.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H