Saya kira begitu datang ke MPP untuk berfoto dan tandatangan, kemudian tinggal menunggu KTP jadi selama satu atau dua jam. Jadi, pulang sudah mengantongi KTP baru. Ternyata malah baru jadi esok hari. Berarti boros waktu, energi, dan ongkos transpor.
Di sinilah saya bertanya-tanya. Tentu dengan sedikit kecewa sedikit gemas. "Kalau caranya begini, apa bedanya dengan bikin KTP secara luring? Toh sama-sama perlu bolak-balik ke instansi terkait untuk mengurusnya?"
Bahkan menurut saya, lebih enak sistem zadoelnya. Kita tinggal datang ke kantor kelurahan dan kecamatan sambil membawa berkas-berkas yang diperlukan. Nanti mengambil KTP-nya di kelurahan.Â
Sama-sama bolak-balik, tetapi tak digalaukan oleh aplikasi JSS. Lagi pula, dahulu saya tidak perlu sampai jauh-jauh ke kantor dindukcapil ataupun balaikota. Paling tinggi mesti mengurus di kantor kemantren (kecamatan), yang berlokasi relatif dekat dari tempat tinggal.Â
O, ya. Saya pun merasakan adanya pemborosan kertas dalam alur pembuatan KTP yang dilabeli secara daring itu. Pertama, fotokopian KK yang dikumpulkan saat hendak berfoto. Kedua, fotokopian KK yang dikumpulkan ketika akan mengambil KTP keesokan harinya. Ah, entahlah. Bingung saya memahami alurnya.
***
Demikian pengalaman saya mendampingi anak bikin KTP baru. Semoga "kesan" saya di atas dapat menjadi masukan dan pertimbangan bagi instansi terkait. Yup! Saya berharap ada salah satu pembaca tulisan ini yang berwenang terhadap urusan pembuatan KTP secara daring tersebut.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H