"Wow! Ternyata naik kereta api enak juga, ya? Kenapa baru sekarang aku diajak naik kereta api? Ini kursinya nyaman. Lega. Ada AC-nya. Terus ada itu .... Eh? Itu yang di atas pintu, informasi apa? Yang angka-angka itu menunjukkan jam. Kalau yang tulisannya? Itu informasi apa, Bund?"
Setelah mengamati sejenak, saya menjawab, "Itu nama stasiun yang akan kita singgahi. Perhatikan saja, deh. Kalau muncul nama baru, sebentar lagi pasti akan tiba di sebuah stasiun."
"Ooo."
Saya masih ingat betul celotehan anak saya ketika pertama kali diajak naik kereta api. Tatkala itu kami hendak pergi ke Solo. Naik Pramex (Prambanan Express) yang kini tinggal kenangan. Berangkat dari Stasiun Tugu Yogyakarta dengan tujuan Stasiun Purwosari Solo. Pada pertengahan tahun 2016.
Demi mendengar perkataannya, saya tersadar akan sesuatu. Iya, betul sekali. Pramex yang kami tumpangi memang terasa bersih dan nyaman. Jauh lebih nyaman ketimbang dahulu, saat terakhir saya naik, pada tahun 2004.
Hehehe .... Ke mana saja saya? Selama rentang 12 tahun, ternyata saya tak sekalipun naik kereta api. Terhitung sejak tidak lagi kerja di Solo sebab akan lahiran, hingga hari ketika saya mengajak anak naik kereta api untuk pertama kali.
Saya pun kemudian teringat penyebabnya, yang tak lain dan tak bukan adalah rasa ketidaknyamanan. Jadi selama 12 tahun itu kalau bepergian keluar kota, mengingat anak yang masih kecil, kami lebih memilih naik travel atau bus. O, ya. Anak yang melontarkan celotehan itulah yang saya lahirkan.
Dalam bayangan saya, sungguh repot desak-desakan di kereta api dengan membawa anak kecil. Terlebih kalau mesti rebutan tempat duduk. Belum lagi kalau kondisi cuaca bikin gerah sehingga bocah berpotensi rewel. Â Rawan copet pula.
O la la! Demikian cepat waktu berjalan. Walaupun pernah membaca/mendengar berita terkait makin membaiknya sistem perkeretaapian Indonesia, saya tak serta-merta menyadari perbaikan sistem tersebut tatkala langsung menikmatinya. Dasar ....
Untung saja anak saya berceloteh panjang lebar mengenai interior Pramex yang sedang kami naiki. Kalau tidak, pastilah saya tak segera menyadari perubahan baik yang sedang tampak di depan mata. Mestinya 'kan saya sadar semenjak mulai tiba di stasiun, lalu saat beli tiket, dilanjut ketika hendak memasuki gerbong.
Sebenarnya saat rangkaian gerbong kereta api yang akan kami naiki mendekat, saya sempat membatin, "Syukurlah penumpangnya tak berjubelan kacau balau walaupun banyak. Berarti enggak perlu rebutan tempat duduk. Tumben. Rezeki si bocah."
Sejak dari rumah saya memang berulang kali mengingatkan anak supaya sigap berebut masuk ke gerbong. Demikian pula untuk cari kursinya. Â Hahaha! Acuan saya masih situasi perkeretaapian Indonesia zaman baheula. Maklumlah. Telah lebih dari satu dekade tak pernah nyepur.
Alhasil, ketika sudah di dalam gerbong dan duduk nyaman sesuai tiket yang kami pegang, saat anak berceloteh mengenai kesannya naik kereta api, saya baru ngeh dengan perubahan-perubahan positif di dunia perkeretaapian Indonesia.
Karena punya kesan pertama yang baik, anak saya pun jadi gemar naik kereta api. Tiap kali ke Solo kami akhirnya back to train. Sayang sekali hobi nyepur itu mesti terhenti gara-gara pandemi. Apa boleh buat? Sejak Maret 2020 sampai sekarang kami belum pernah bepergian keluar kota, baik dengan kereta api maupun moda transportasi yang lain. Â Â
Sebagai pelengkap, silakan baca juga tulisan saya tentang pengalaman mencicipi kereta api Solo Ekspres yang sekarang pun tinggal kenangan.
Ignasius JonanÂ
Orang Indonesia yang kerap mempergunakan moda transportasi kereta api pastilah tak asing dengan nama Ignasius Jonan. Sebab atas jasanya, wajah acakadut dunia perkeretaapian Indonesia berubah menjadi rapi jali dan tertib.
Siapakah dia? Ignasius Jonan adalah Direktur Utama P. T. Kereta Api Indonesia (KAI) pada periode 2009-2014. Dialah yang sukses mengangkat harkat dan martabat kereta api Indonesia. Yang sebenarnya pernah hampir menyerah, saat tiga bulan pertama bertugas, sebab terlalu banyaknya warisan masalah yang diterima. Untunglah semangat dan rasa percaya dirinya untuk mengurai masalah-masalah tersebut bisa balik lagi, setelah Menteri Sofyan Djalil memotivasi dan mendukungnya penuh.
Dalam buku Jonan dan Evolusi Kereta Api (Hadi M. Djuraid, 2013), Menteri BUMN setelah Sofyan Djalil, yaitu Dahlan Iskan, kurang lebih menulis sebagai berikut.
Hari menjelang lebaran tahun 2012. Itulah hari yang akan dikenang bangsa Indonesia sebagai hari berakhirnya sejarah keruwetan mudik lebaran di stasiun kereta api. Itulah hari yang membuktikan hasil nyata kerja keras direksi BUMN P. T. Kereta Api Indonesia yang dikomandoi Direktur Utama Ignasius Jonan.
Tahun 2012! Sementara saya kembali naik kereta api pada tahun 2016. Pantas saja tidak merasakan evolusinya, tetapi menganggapnya "revolusi" (sebab saya merasa tahu-tahu kok berubah drastis).
Dalam perjalanan Yogyakarta-Solo dengan Pramex itu, sesampainya di Stasiun Purwosari saya bahkan lupa dengan "revolusi" tersebut. Begitu turun dari kereta, saya berniat mampir ke angkringan langganan 12 tahun silam. Saya kaget karena lokasinya kini menjadi lokasi ruang tunggu. Namun, kekagetan itulah yang kembali menyadarkan saya bahwa telah terjadi evolusi.
Sudah pasti angkringan langganan saya itu digusur. Lokasinya memang di tengah-tengah teras stasiun dan amat dekat dengan loket tiket. Strategis, tetapi membuat semrawut.
Dahulu sembari menunggu Pramex jurusan Yogyakarta, saya dan teman-teman biasa nongkrong di situ. Bisa mengisi perut yang lapar sepulang kerja, sembari mengawasi kereta api yang datang dan pergi dengan jelas saking dekatnya. Tentu saja setelah ada evolusi yang dipimpin Pak Jonan, kondisinya menjadi jauh lebih bersih. Dilengkapi dengan fasilitas untuk mengisi baterai ponsel pula.
Richard Trevithick dan George StephensonÂ
Tentu saja saya tidak melupakan jasa Richard Trevithick dan George Stephenson. Kedua orang Inggris inilah yang menjadi cikal bakal eksistensi moda transportasi kereta api. Beberapa abad silam. Namun, saya juga menyadari bahwa sebelum kedua orang ini, sesungguhnya telah ada orang-orang lain yang merintis hadirnya kereta api.
Harus diakui bahwa sejarah kereta api beserta para tokoh penemunya adalah sesuatu yang bersifat dinamis dan komplementer. Penemuan awal disempurnakan penemuan berikutnya, demikian seterusnya hingga sampai pada bentuk kereta api yang modern seperti sekarang. Namun menurut saya, Richard Trevithick dan George Stephenson  adalah dua nama yang paling pantas disebut ketika membicarakan asal muasal kereta api.
Richard Trevithick yang masa hidupnya dari 13 April 1771-22 April 1833 adalah seorang penemu dan insinyur pertambangan. Saat kecil prestasi akademiknya tak cemerlang. Akan tetapi, ketika dewasa ia bermetamorfosis menjadi seorang pelopor transportasi darat berbahan bakar uap (termasuk mobil dan kereta api).
Kontribusi terbesar Richard Trevithick adalah mesin uap bertekanan tinggi pertama di dunia. Dialah orang pertama yang membangun sistem lokomotif uap yang dimanfaatkan sebagai pengangkut batu bara di kawasan pertambangan. Lokomotif uap karya Richard Trevithick inilah cikal bakal penciptaan lokomotif yang lebih modern di kelak kemudian hari.
Di balik kepintarannya, Richard Trevithick ternyata punya sifat mudah tersinggung dan tidak sabaran dalam mengelola bisnis. Meskipun sukses memperoleh hak paten atas lokomotif uap bertekanan tinggi tersebut, pada tahun 1811 ia justru mengalami kebangkrutan.
Richard Trevithick sempat meninggalkan Inggris demi mencari peruntungan di Amerika pada tahun 1816. Namun, pada tahun 1827 ia kembali ke Inggris dalam kondisi bangkrut hingga akhir hayatnya.
Yang menyedihkan, ia bahkan menjadi saksi atas kesuksesan George Stephenson yang pandai memaksimalkan manfaat dan keuntungan dari penemuan-penemuannya.
Siapa George Stephenson? George Stephenson, yang lahir pada tanggal 9 Juni 1781, dikenal sebagai penemu utama lokomotif kereta api. Berbeda dengan Richard Trevithick yang punya latar belakang pendidikan memadai, George Stephenson justru tidak bersekolah formal. Ia pun telah menjadi pekerja sejak masih belia. Malamnya ikut kursus menulis dan berhitung.
Singkat cerita, George Stephenson adalah tipe orang yang gigih dan mau belajar keras untuk mampu menguasai keahlian tertentu. Pergaulannya juga luas dan luwes. Dari banyak kawan ia sudah pasti belajar hal-hal baru.
Hingga akhirnya pada tahun 1813 ia mengunjungi tambang batu bara tetangganya untuk membenahi ketel uap di atas roda, yang dibangun untuk mengangkut batu bara keluar dari tambang. Tatkala itu ia berpikir bahwa dirinya bisa membuat alat yang lebih baik dan kemudian dibuktikannya.
Hari demi hari berlari dan George Stephenson setia berproses. Sampai suatu ketika ia bersama Robert, putranya, berhasil memenangkan kompetisi lokomotif. Alhasil, delapan lokomotif dipergunakan ketika jalur kereta api Liverpool-Manchester dibuka pada tanggal 15 September 1830. Semua dibuat berdasarkan perhitungan dan arahannya.Â
Sejak saat itu, kereta api menyebar dengan cepat ke seluruh Inggris, Eropa, dan Amerika Utara. Hingga akhirnya sampai pula ke Indonesia ....
Dari kisah Richard Trevithick dan George Stephenson kita dapat belajar bahwa kecerdasan emosional pun diperlukan untuk meraih kesuksesan. Pintar saja secara akademik tidak cukup. Kecerdasan intelektual masih perlu dilengkapi dengan kecerdasan emosional. Plus kecerdasan spiritual pastinya. Â Â
W. Poolman dan Baron Sloet van de Beele
 Jalur kereta api di Indonesia merupakan jalur kedua di Asia. Yang pertama di India. Bagaimana ceritanya kereta api sampai di bumi Indonesia? Sejarah perkeretaapian di Indonesia tak lepas dari sejarah kolonialisme Belanda di negeri kita.Â
Lalu, siapa W. Poolman? Dia adalah Direktur Utama NISM (Nederlansch Indische Spoorweg Maatschappij), perusahaan swasta yang merintis pembangunan perkeretaapian di Indonesia. Jalur dari Semarang ke Vorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta) merupakan jalur awal yang dibangun NISM.
Siapa pula Baron Sloet van de Beele? Â Mr. L. A. J. Baron Sloet van de Beele adalah Gubernur Jendral Hindia Belanda yang melakukan pencangkulan pertama di lahan yang hendak dibangun menjadi jalur kereta api Semarang-Vorstenlanden. Â Pencangkulan pertama itu dilakukan di Desa Kemijen, Semarang, pada tanggal 17 Juni 1864. Inilah cikal-bakal pengembangan jalur kereta api lainnya di seantero negeri.
Hmm. Kalau begitu kita mesti berterima kasih kepada W. Poolman dan Baron Sloet van de Beele, deh. Bagaimanapun keduanya telah berjasa merintis kehadiran kereta api di negeri kita. Selanjutnya, bermula  dari rintisan mereka itulah dunia perkeretaapian Indonesia berkembang dengan segala dinamikanya.  Â
Saat penjajahan Belanda berakhir, perkeretaapian Indonesia jatuh di tangan penjajah Jepang. Setelah Indonesia merdeka otomatis urusan perkeretaapian sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, nama instansi yang mengurusi kereta api Indonesia pun berganti-ganti sebelum akhirnya menjadi P. T. Kereta Api Indonesia sejak tahun 2011.
***
Demikian sekelumit kisah mengenai para tokoh yang terkait dengan kereta api. Apakah sebelumnya Anda sekalian telah mengakrabi nama-nama mereka? Atau, baru kali ini mengetahuinya meskipun telah ribuan kali naik kereta api?
Salam.
***
Ditulis dalam rangka #HUTke-6Click Kompasiana.
Sumber tulisan:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H