Sementara sesi kedua bertajuk "Membangun Sound Destination Sebagai Destinasi Baru, mengimplementasikan Borobudur sebagai sebuah warisan yang Harus Dikerjakan". Narasumbernya adalah Prof. Dr. M. Baiquni M.A, pakar geografi pembangunan, pendiri Sustainable Tourism Action Research Society; Direktur Industri Musik, Seni Pertunjukan, dan Penerbitan Kemenparekraf RI, Dr. Muhammad Amin S.Sn., M.Sn., M.A, serta perwakilan dari UNESCO dan Visit Indonesia Tourism Officer (VITO).
O, ya. International Conference Sound of Borobudur merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan konferensi internasional lima destinasi super prioritas yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sepanjang Juni hingga November 2021.
Selain di kawasan Candi Borobudur, kegiatan serupa akan diselenggarakan di empat destinasi super prioritas yang lain. Keempatnya adalah Danau Toba, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang.
Konferensi Ini Memberikan Kesadaran baruÂ
Keikutsertaan saya dalam International Conference Sound of Borobudur memberikan kesadaran baru terkait Candi Borobudur. Jika sebelumnya saya sekadar bangga sebab bangsa kita "dititipi" Tuhan untuk mengurus candi megah tersebut, kini melalui perantaraan gerakan Sound of Borobudur, saya jadi merasa bangga sekali.
Yang perlu digaris bawahi tebal-tebal, kebanggaan membuncah itu tak melulu terkait dengan keelokan wujud bangunan candi tersebut. Tidak semata-mata bertumpu pada apa yang memanjakan indera penglihatan.
Kalau perihal wujudnya yang menawan sih, saya sudah sadar sejak dahulu. Sejak pertama kali melihat fotonya di surat kabar. Dilanjut saat pertama kali menginjakkan kaki di candi megah itu (ketika saya masih duduk di bangku SD).
Beruntunglah saya bahwa kunjungan pertama tersebut bukanlah kunjungan terakhir. Setelahnya untuk berbagai alasan dan keperluan, beberapa kali saya berkunjung ke sana. Namun, semua kunjungan tersebut masih berfokus pada "naik ke candinya". Barulah pada kunjungan terakhir, yaitu pada tahun 2017, saya ke sana tanpa naik ke candinya.
Tatkala itu konsep kunjungan ke kawasan sekitar candi memang telah dimulai. Homestay dan balkondes sudah mulai dirintis. Aktivitas Mbak Iie dalam meneliti relief Candi Borobudur pun telah terendus. Pemandu wisata yang mendampingi saya sempat sedikit bercerita tentangnya. Hanya saja, tampaknya ketika itu nama Sound of Borobudur belum diperkenalkan.
Serukah berwisata ke kawasan Candi Borobudur tanpa berfoto narsis di candinya? Ternyata tak kalah seru. Terlebih saat itu sudah mulai ada balkondes dan saya sempat mampir ngopi sore di salah satu balkondes. Tentu setelah lelah berkunjung ke Candi Mendut dan Candi Pawon, serta belajar membatik dan membuat keramik gaya Borobudur.
Nah. Jika kelak saya berkesempatan untuk berkunjung ke destinasi wonderful Indonesia itu lagi, pasti tingkat keseruannya bertambah. 'Kan sudah ada Sound of Borobudur?