Pagi itu saya terharu biru oleh lagu kebangsaan "Indonesia Raya", yang sama-sama kami lantunkan untuk mengawali serangkaian acara International Conference Sound of Borobudur. Tak seberapa lama kemudian, lagu wajib nasional berjudul "Indonesia Pusaka" (yang dibawakan oleh tim musisi dari Sound of Borobudur Movement) juga mengharu biru perasaan saya.
Begitulah adanya. Bukankah "Indonesia Raya" memang selalu syahdu bilamana dinyanyikan sembari diresapi isinya? Demikian pula "Indonesia Pusaka", yang kebetulan merupakan salah satu lagu nasional favorit saya.
Alhasil, pada seremonial acara pembukaan International Conference Sound of Borobudur tempo hari, saya sempat terhanyut dalam perasaan. B-a-p-e-r. Katakanlah, saya pagi itu lagi-lagi dibuat sangat bucin kepada tanah air Indonesia.
Terlebih lagu nasional "Indonesia Pusaka" disajikan dengan cara tak biasa alias istimewa. Liriknya dilantunkan sepenuh perasaan oleh musisi/penyanyi Trie Utami. Diiringi permainan musik oleh para koleganya di tim Sound of Borobudur Movement. Di antaranya Dewa Budjana, Vicky Sianipar, Samuel Glenn, Amoris, dan Flavius Nestor Embun.
Lalu, di mana letak keistimewaannya? Tentu saja keistimewaannya terletak pada alat-alat musik yang dipergunakan (dimainkan). Yup! Alat-alat musik yang mereka pergunakan adalah alat-alat musik yang direkonstruksi dari deretan relief yang terdapat pada dinding Candi Borobudur.
Kalaupun sekarang di beberapa daerah masih ada jejaknya, belum tentu bentuknya persis sama. Sangat mungkin sudah terjadi modifikasi seiring perkembangan zaman.
Kiranya itulah yang kemudian memantik ide untuk menamai aktivitas atau gerakan tersebut dengan Sound of Borobudur. Suara-suara atau bebunyian yang terinspirasi oleh Candi Borobudur. Yang bersumber dari kandungan informasi yang tersimpan dalam deretan relief indahnya.
Jangan berpikiran bahwa proses yang dilalui tim Sound of Borobudur adalah proses yang mudah dan cepat. Perlu diketahui bahwa kerja-kerja intensif dalam meneliti dan merekonstruksi bermula pada tahun 2016. Hasilnya, setelah kurang lebih lima tahun berkutat serius dengan relief-relief yang menghiasi Candi Borobudur, terciptalah beberapa alat musik dan aransemen-aransemen yang ciamik.
Termasuk yang dipakai untuk mengiringi Mbak Iie (Trie Utami) saat mendendangkan "Indonesia Pusaka", dalam pementasan di hadapan peserta International Conference Sound of Borobudur. Sebuah konferensi penuh makna yang menegaskan betapa Wonderful Indonesia, yang memiliki destinasi wisata super keren seperti Candi Borobudur.
Iya. Tanpa adanya temuan dan kerja keras tim Sound of Borobudur, siapa yang menyangka bahwa ternyata Borobudur pusat musik dunia di masa lampau?
Musik itu Bahasa Universal
Musik adalah bahasa universal. Keuniversalannya paten dan absolut. Mampu menembus batasan-batasan wilayah geografis, kesukuan, keagamaan/kepercayaan, dan strata sosial. Karena sifat universal itulah, musik dapat dinikmati oleh siapa saja. Termasuk oleh orang yang awam musik sekalipun.
Tidak perlu jauh-jauh untuk mengambil contoh. Kebaperan yang saya rasakan akibat menyimak "Indonesia Raya" dan "Indonesia Pusaka" telah sangat jelas menunjukkan keuniversalannya yang absolut itu.
Tatkala tim Sound of Borobudur membawakan komposisi lain tanpa lirik, secara perlahan-lahan kebaperan saya berubah menjadi perasaan yang liris. Bahkan, di beberapa bagian terasa bikin nglangut. Demikian pula ketika video showcase kolaborasi Sound of Borobudur dengan musisi dari berbagai negara (China, Taiwan, Laos, Filipina, Jepang, Vetnam, Italia, dan Inggris) diputar.
Itulah sebabnya musik bisa luwes jika dipergunakan sebagai sarana diplomasi antar individu, antar kelompok, bahkan antarbangsa. Istilahnya, musik bakalan mampu mencairkan suasana. Dapat pula dimanfaatkan sebagai tali pengikat persaudaraan di antara sesama manusia.
Siapa pun, berasal dari kalangan mana pun, bisa duduk bersama-sama untuk menikmati musik. Tentu sejauh indera pendengarannya berfungsi dengan baik. Siapa pun, berasal dari kalangan mana pun, bisa bersama-sama memainkan alat musik sejauh paham notasi musik (meskipun bicara dalam bahasa yang berlainan).
Nah! Kerennya, Candi Borobudur sejak abad ke-13 lalu sudah menyediakan diri sebagai pusat musik dunia. Hanya saja patut disayangkan, belum banyak orang yang tahu fakta ini sehingga segala informasi terkait hal tersebut perlu sekali disebarluaskan.
Demikian pesan yang saya tangkap dari penyelenggaraan International Conference Sound of Borobudur.
Hal ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Purwa Tjaraka, Pengampu Utama Yayasan Padma Sada Svargantara. Dalam sambutannya di awal acara. Purwa menegaskan bahwa musik tidak memilah-milah suku atau agama; semua suku bangsa di dunia ini menjadikan musik sebagai kebutuhan hidup yang sudah bersatu dengan jiwa dan raga.
Nah 'kan?
Tentang International Conference Sound of Borobudur
Apa sih sebenarnya International Conference Sound of Borobudur itu? International Conference Sound of Borobudur adalah konferensi internasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) bekerja sama dengan Yayasan Padma Sada Svargantara (sebagai inisiator Sound of Borobudur Movement) dan Kompas Group.
Konferensi internasional yang mengusung tema "Music Over Nations: Menggali Jejak Persaudaraan Lintas Bangsa Melalui Musik" itu berlangsung pada tanggal 24 Juni 2021 lalu. Penyelenggaraannya secara hybrid. Campuran antara luring dan daring.
Yang luring (luar jaringan, langsung tatap muka) berlokasi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Tepatnya di kawasan seputar Candi Borobudur. Yang daring (dalam jaringan) hadir dari mana-mana, dari berbagai penjuru dunia, melalui layar Zoom.
Sudah pasti penyelenggaraan luringnya digelar sesuai dengan protokol kesehatan COVID-19. Berada di ruangan terbuka (di Balkondes Karangrejo) sehingga sirkulasi udara sempurna. Jarak duduk atau berdiri antarpeserta diatur sedemikian rupa agar tak menjadi kerumunan. Wastafel beserta kelengkapannya pun tersedia.
Tidak lupa ada termometer juga untuk pengecekan suhu tubuh sebelum memasuki area pertemuan. Tentu saja tiap orang yang hadir pun diwajibkan memakai masker.
Tak lain dan tak bukan, tujuannya untuk menemukan rumusan bersama secara ilmiah dan inovatif, terkait dengan cara membangun sebuah gerakan bersama di tingkat dunia untuk menggali dan menghidupkan kembali jejak persaudaraan lintas bangsa yang diwariskan oleh leluhur kita melalui musik.
Sebagaimana yang digambarkan dalam relief-relief Candi Borobudur. Melalui representasi alat musik yang terpahat pada relief-relief candi megah tersebut.
International Conference Sound of Borobudur dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama bertopik "Merangkai Kembali Keterhubungan Antarbangsa Melalui Alat Musik yang Terpahat di Relief Candi Borobudur". Narasumbernya terdiri atas Profesor Emerita Margaret Kartomi AM, FAHA, Dr. Phil, Guru Besar di Sir Zelman Cowen School of Music and Performance, Monash University, Australia.
Selanjutnya ada Addie M.S., pendiri Twilite Orchestra, pianis, pencipta lagu, komponis, arranger, dan produser musik.
Setelahnya tampil Tantowi Yahya, Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh untuk Selandia Baru, Samoa, Tonga, Cook Islands, dan Niue serta Duta Besar Keliling untuk Wilayah Pasifik.
Sementara sesi kedua bertajuk "Membangun Sound Destination Sebagai Destinasi Baru, mengimplementasikan Borobudur sebagai sebuah warisan yang Harus Dikerjakan". Narasumbernya adalah Prof. Dr. M. Baiquni M.A, pakar geografi pembangunan, pendiri Sustainable Tourism Action Research Society; Direktur Industri Musik, Seni Pertunjukan, dan Penerbitan Kemenparekraf RI, Dr. Muhammad Amin S.Sn., M.Sn., M.A, serta perwakilan dari UNESCO dan Visit Indonesia Tourism Officer (VITO).
O, ya. International Conference Sound of Borobudur merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan konferensi internasional lima destinasi super prioritas yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sepanjang Juni hingga November 2021.
Selain di kawasan Candi Borobudur, kegiatan serupa akan diselenggarakan di empat destinasi super prioritas yang lain. Keempatnya adalah Danau Toba, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang.
Konferensi Ini Memberikan Kesadaran baruÂ
Keikutsertaan saya dalam International Conference Sound of Borobudur memberikan kesadaran baru terkait Candi Borobudur. Jika sebelumnya saya sekadar bangga sebab bangsa kita "dititipi" Tuhan untuk mengurus candi megah tersebut, kini melalui perantaraan gerakan Sound of Borobudur, saya jadi merasa bangga sekali.
Yang perlu digaris bawahi tebal-tebal, kebanggaan membuncah itu tak melulu terkait dengan keelokan wujud bangunan candi tersebut. Tidak semata-mata bertumpu pada apa yang memanjakan indera penglihatan.
Kalau perihal wujudnya yang menawan sih, saya sudah sadar sejak dahulu. Sejak pertama kali melihat fotonya di surat kabar. Dilanjut saat pertama kali menginjakkan kaki di candi megah itu (ketika saya masih duduk di bangku SD).
Beruntunglah saya bahwa kunjungan pertama tersebut bukanlah kunjungan terakhir. Setelahnya untuk berbagai alasan dan keperluan, beberapa kali saya berkunjung ke sana. Namun, semua kunjungan tersebut masih berfokus pada "naik ke candinya". Barulah pada kunjungan terakhir, yaitu pada tahun 2017, saya ke sana tanpa naik ke candinya.
Tatkala itu konsep kunjungan ke kawasan sekitar candi memang telah dimulai. Homestay dan balkondes sudah mulai dirintis. Aktivitas Mbak Iie dalam meneliti relief Candi Borobudur pun telah terendus. Pemandu wisata yang mendampingi saya sempat sedikit bercerita tentangnya. Hanya saja, tampaknya ketika itu nama Sound of Borobudur belum diperkenalkan.
Serukah berwisata ke kawasan Candi Borobudur tanpa berfoto narsis di candinya? Ternyata tak kalah seru. Terlebih saat itu sudah mulai ada balkondes dan saya sempat mampir ngopi sore di salah satu balkondes. Tentu setelah lelah berkunjung ke Candi Mendut dan Candi Pawon, serta belajar membatik dan membuat keramik gaya Borobudur.
Nah. Jika kelak saya berkesempatan untuk berkunjung ke destinasi wonderful Indonesia itu lagi, pasti tingkat keseruannya bertambah. 'Kan sudah ada Sound of Borobudur?
***
Perlu digarisbawahi bahwa Sound of Borobudur tidak lahir dalam rangka membentuk sebuah grup musik. Sound of Borobudur lebih dimaksudkan sebagai sebuah gerakan untuk menggaungkan betapa nenek moyang kita telah memiliki peradaban yang tinggi. Lingkup pergaulannya pun sudah internasional.
Tujuan gerakan Sound of Borobudur adalah memberikan informasi kepada generasi sekarang dan yang akan datang bahwa fakta Borobudur pusat musik dunia bukanlah isapan jempol semata. Buktinya jelas terpahat di dinding-dinding Candi Borobudur.
Di situ ada 226 relief alat musik dan 45 relief ensambel. Adapun 226 relief alat musik itu terdiri atas jenis aerophone (tiup), cordophone (petik), idiophone (pukul), dan membraphone (membran). Bukankah semua bukti itu telah lebih dari cukup?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H