Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Catatan Recehan dari Kegagalan Die Mannschaft di Euro 2020

3 Juli 2021   15:48 Diperbarui: 3 Juli 2021   16:17 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terhenti sudah langkah timnas Jerman di ajang Euro 2020. Muller dan kawan-kawan satu timnya tak kuasa membalas 2 gol yang merobek gawang Neuer. Terlepas dari segala prediksi dan adu strategi yang dijalankan, faktanya timnas Jerman telah kalah 0-2 dari timnas Inggris di gelaran Euro 2020. 

Sejarah telah mencatatnya! 

Dengan demikian (bagi saya), tuntas sudah pergelaran Euro 2020 yang kenyataannya berlangsung pada tahun 2021 ini. Lho! Kok bisa? Semifinal saja belum? 

Hmm. Iya, sih. Itu de facto. Namun, kepulangan Der Panzer lebih awal membuat semua pertandingan terasa hambar bagi saya. Enggak menarik lagi. Terlebih jagoan kedua saya, tim oranye Belanda, juga sudah angkat koper.

Bukannya denial. Bukannya saya tak bisa menerima kenyataan bahwa timnas favorit saya tersingkir di babak 16 besar. 

Dih! Siapalah saya ini? Saya hanyalah seorang pendukung dari negeri yang jauh. Bukan salah satu anggota skuad Der Panzer. Pastilah saya lebih bisa menerima kenyataan pahit tersebut ketimbang Joachim Loew beserta para anak asuhannya.

Saya 'kan cuma sedang terbawa perasaan gundah akibat timnas favorit kalah. Iya. Saya sedang b-a-p-e-r. 

Akan tetapi, kebaperan saya masih terkendali. Terhenti di benak sendiri. Buktinya saya tidak bikin kisruh dengan memprotes panitia Euro 2020. Atau minimal, menyebarkan hoaks terkait kemenangan timnas Inggris.

Saya pun tidak serta-merta percaya kepada seorang teman, yang mengatakan bahwa sepakbola sama halnya dengan politik tingkat tinggi. Ia bilang, "Pastilah Inggris menang. Keluarga kerajaan saja menonton. Masak kalah? Skor 'kan bisa diatur?"

Mungkinkah seperti itu? Sungguh. Untuk pertandingan Die Mannschaft versus The Three Lions beberapa hari lalu, saya sama sekali tak berpikir adanya sepakbola gajah. 

Saya justru berpikir bahwa Tuhan Maha Memahami kebutuhan hamba-Nya. Gareth Southgate butuh membayar lunas kegagalan tendangan penaltinya seperempat abad silam. Saya yakin, sejak mengarsiteki timnas Inggris ia pasti sudah bertekad untuk menutupi lembar kegagalan tersebut dengan lembar kesuksesan sebagai pelatih. Lalu, menindaklanjutinya demgan usaha dan doa. 

Hasilnya? Dengan dukungan penuh semua pihak plus takdir-Nya SWT, Gareth Southgate pun akhirnya bisa berteriak lega.

Saya tak mendebat opini teman tersebut meskipun sedikit tersinggung. Kejam dia. Masak jagoan saya dituduh curang? Namun, saya takut lelah karena berdebat kusir. Muehehehe ....

Anak ABG-nya yang sesenggukan menangisi kekalahan pasukan Joachim Loew pun ditertawakannya. Katanya, "Kamu ini Le (panggilan anak laki-laki dalam bahasa Jawa), kenal saja enggak. Ngapain kamu tangisi begitu?"

Wuaduh! Saya tersentil dengan perkataannya. Andai kata masih ABG, bisa jadi saya juga akan menangis seperti si bocah. Hmm. Agaknya teman saya lupa bahwa apa yang terjadi pada anaknya idem ditto dengan para penggemar BTS yang tempo hari antre BTS Meal McD. 

Yeah? Bagaimana, ya? Kebaperan saya dan tangisan anak teman saya memang bisa dipandang tak masuk akal. Alay. Namun masalahnya, bukankah perasaan acapkali tak masuk akal? Kata Agnes Monica, "Cinta ini kadang-kadang tak ada logika .... ."

Jadi, sejauh tak sampai membuat kisruh masyarakat ya biarkan saja. Tak usah diolok-olok. Itulah sebabnya saya cemas dengan perasaan anak teman saya. Semoga ia tak tersinggung dengan perkataan ibunya.

Segala perkataan teman saya itu, terutama yang ditujukan kepada anaknya, membuat saya tersadarkan bahwa "penting sekali" dalam hidup ini untuk menjaga lisan. Bahkan, dalam kondisi bercanda sekalipun. Bisa jadi tanpa bermaksud melukai, perkataan kita ternyata malah melukai. 

Amboi! Ini keren sekali, bukan? Kekalahan Die Manschaft ternyata bikin diri saya mampu bermawas diri begini. 

Hmm. Memang sesungguhnya, saya nonton sepakbola bukanlah an sich nonton permainannya. Bukan pula sekadar nonton para pemainnya. Lebih dari itu, saya punya kebiasaan mengambil pelajaran/hikmah dari tiap pertandingan. Tentu terkhusus pertandingan yang melibatkan timnas Jerman. 

Saya juga suka mengamati ekspresi pemain dan pelatih pasca pertandingan. Itulah sebabnya saya sangat kesal ketika televisi langsung menampilkan iklan, sesaat setelah peluit panjang berbunyi. Payah. Bagian paling humanis dari siaran langsung pertandingan kok malah dipotong.  

Maka tempo hari ....

Melihat tatapan sedih Neuer kepada Jogi yang berada di tepi lapangan, setelah wasit meniup peluit panjang, perasaan saya menjadi masygul. 

Tatapan sedihnya itu terasa demikian dalam. Lebih dari sekadar kecewa gara-gara gagal melangkah ke babak selanjutnya. Pun, lebih dari sekadar rasa bersalah sebab tak mampu menepis lesakan bola yang sukses merobek gawangnya dua kali.

Iya. Neuer juga sangat bersedih sebab tak mampu memberikan kado indah berupa tropi juara kepada Jogi di penghujung masa bertugasnya. 

"We are massively disappointed," demikian kata Neuer.

Apa boleh buat? Hidup memang tak selalu berpihak kepada kita. Rencana yang telah kita susun sedetil mungkin pun bisa gagal jika Yang Maha Menentukan menetapkan kita gagal . 

O, ya. Takluknya Der Panzer kepada timnas Inggris pun membuat ingatan saya terbang ke masa silam. Saat saya masih bocah dan menjadi saksi atas kekalahan Der Panzer (namun saya lupa timnas mana lawan bertandingnya).

Saat itu begitu pertandingan berakhir, kamera televisi menyorot Rudi Voeller yang terduduk lesu di tengah lapangan. Matanya memandang kosong ke depan. Tatkala itu saya merasa amat sedih melihatnya tampak nelangsa begitu. Saya bahkan masih mengingat perasaan sedih tersebut sampai sekarang. 

Nah, lho. Ia bukan siapa-siapa saya. Bukan pula pemain idola saya. Terkesan alay? Mungkin bagi orang lain begitu. Namun, saya tidak merasa alay sama sekali. Saya sedih dalam diam, lho. Enggak mengganggu masyarakat dan orang-orang di sekitar.  

***

Demikianlah adanya. Bagi saya, berbincang tentang Die Mannschaft bukan sekadar perkara menjadi juara, melainkan juga tentang cinta. Penerimaan. Kesetiaan. 

Iya. Cinta itulah yang membuat saya konsisten menerima apa pun hasil perjuangan dan kondisi Die Mannschaft. Kekalahannya tak sedikit pun menerbitkan niat saya untuk berpaling ke timnas lain. Sekali Die Mannschaft tetap Die Manschaft.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun