Melihat tatapan sedih Neuer kepada Jogi yang berada di tepi lapangan, setelah wasit meniup peluit panjang, perasaan saya menjadi masygul.Â
Tatapan sedihnya itu terasa demikian dalam. Lebih dari sekadar kecewa gara-gara gagal melangkah ke babak selanjutnya. Pun, lebih dari sekadar rasa bersalah sebab tak mampu menepis lesakan bola yang sukses merobek gawangnya dua kali.
Iya. Neuer juga sangat bersedih sebab tak mampu memberikan kado indah berupa tropi juara kepada Jogi di penghujung masa bertugasnya.Â
"We are massively disappointed," demikian kata Neuer.
Apa boleh buat? Hidup memang tak selalu berpihak kepada kita. Rencana yang telah kita susun sedetil mungkin pun bisa gagal jika Yang Maha Menentukan menetapkan kita gagal .Â
O, ya. Takluknya Der Panzer kepada timnas Inggris pun membuat ingatan saya terbang ke masa silam. Saat saya masih bocah dan menjadi saksi atas kekalahan Der Panzer (namun saya lupa timnas mana lawan bertandingnya).
Saat itu begitu pertandingan berakhir, kamera televisi menyorot Rudi Voeller yang terduduk lesu di tengah lapangan. Matanya memandang kosong ke depan. Tatkala itu saya merasa amat sedih melihatnya tampak nelangsa begitu. Saya bahkan masih mengingat perasaan sedih tersebut sampai sekarang.Â
Nah, lho. Ia bukan siapa-siapa saya. Bukan pula pemain idola saya. Terkesan alay? Mungkin bagi orang lain begitu. Namun, saya tidak merasa alay sama sekali. Saya sedih dalam diam, lho. Enggak mengganggu masyarakat dan orang-orang di sekitar. Â
***
Demikianlah adanya. Bagi saya, berbincang tentang Die Mannschaft bukan sekadar perkara menjadi juara, melainkan juga tentang cinta. Penerimaan. Kesetiaan.Â
Iya. Cinta itulah yang membuat saya konsisten menerima apa pun hasil perjuangan dan kondisi Die Mannschaft. Kekalahannya tak sedikit pun menerbitkan niat saya untuk berpaling ke timnas lain. Sekali Die Mannschaft tetap Die Manschaft.