Demikianlah kiranya yang saya pahami.Â
Lalu, bagaimana halnya dengan saya? Hmm. Ternyata lumayan susah untuk menjawabnya.
Mengapa? Karena tahun-tahun belakangan ini saya justru lebih sering menulis nonfiksi. Rasanya telah berabad-abad saya tidak menulis puisi ataupun cerpen. Sementara biasanya yang pakai adonan dan olahan perasaan adalah karya fiksi (kalau dituangkan dalam bentuk tulisan).
Jika dikaitkan dengan statemen bahwa seniman dan pujangga akan lebih produktif ketika mengalami gejolak dalam kehidupannya, tampaknya apa yang saya alami menyalahi statemen tersebut.
Kehidupan saya sebenarnya penuh kekisruhan jiwa, lho. Akan tetapi, mengapa saya justru tak produktif bikin puisi atau cerpen sebagaimana yang saya lakukan dahulu? Gawat. Jangan-jangan saya sudah tak lagi memiliki perasaan. Eh?
Namun, begini. Sedikit banyak saya merasakan bahwa tulisan-tulisan nonfiksi saya pun mengandung olahan rasa. Sebab sering pula akibat menanggung beban sebuah perasaan, akhirnya saya menuangkannya ke dalam bentuk tulisan nonfiksi.
Salah satu contohnya tulisan (yang sebenarnya merupakan publikasi pameran seni rupa) di personal blog saya berikut ini.
Saya sangat menyukainya. Maka saya lancar sekali ketika menyusun publikasi tentangnya. Rasa bahagia sang seniman (Ekwan Marianto) yang melandasi pembuatan karya-karyanya tersampaikan dengan baik kepada tiap pengunjung. Bahkan, bisa memicu pengunjung untuk meresponsnya dengan cara kreatif masing-masing.
Buktinya, terinspirasi karya Mas Ekwan saya bisa menulis lancar dan kawan saya asyik bermain-main dengan tustelnya. Saking asyiknya sampai menyuruh saya beberapa kali jadi modelnya. Kiranya yang begini ini nih, yang namanya pengolahan rasa menjadi karya-karya keren.