Kepiawaian kita dalam mengolah rasa akan menentukan bagus atau tidaknya karya yang kita hasilkan. Makin piawai kita mengolah rasa, niscaya makin bermutu karya yang kita hasilkan. Apa pun bentuk karya yang kita pilih.
Jangan lupa. Tak semua rasa diolah menjadi karya sastra (karya berbentuk tulisan). Sebagian rasa diolah pula menjadi lukisan dan aneka bentuk seni rupa lainnya. Tergantung pada si empunya rasa ingin menjadikannya karya berbentuk apa.
Iya. Karya memang bermula dari rasa. Tepatnya rasa yang kita sadari sepenuhnya. Rasa itulah yang kemudian terekspresikan ke dalam karya. Ada rasa sedih, galau, bimbang, sepi, bahagia, bahkan rasa terhibur dan ingin tertawa. Â
Apakah hanya rasa yang kita sadari yang dapat diolah menjadi karya? Tentu saja. Kalau kita kurang peka, tidak sadar betul dengan jenis rasa yang sedang menguasai diri kita, mana mungkin terpikir untuk mengolahnya menjadi karya?
Bukankah tiap manusia dikaruniai perasaan? Saat berhadapan/mengalami aneka peristiwa dalam hidup pastilah selalu dihinggapi aneka rasa. Namun kenyataannya, tak semua manusia mampu mengolah rasanya menjadi karya, apalagi karya yang ciamik.
Ketidakmampuan itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, tidak begitu sadar dengan jenis perasaan yang sedang menguasainya. Nah, lho. Kalau tidak paham dengan perasaannya sendiri, mana mungkin seseorang sanggup mengolah rasanya menjadi karya. Baru menentukan perasaan saja sudah tak paham. Repot 'kan?
Kedua, sadar dengan perasaan yang sedang menderanya, bisa lancar menuangkannya ke dalam bentuk tulisan, baik yang ditulis di buku catatan pribadi (diari) maupun di medsos (mestinya enggak boleh lho curhat di medsos), tetapi bentuknya sekadar curhatan. Belum memenuhi syarat dan ketentuan untuk disebut sebagai karya.
Efek lega setelah mencurahkan perasaan melalui tulisan memang didapat. Namun, sifatnya masih pribadional dan amat subjektif. Belum diolah sedemikian rupa sehingga bisa mewakili perasaan khalayak yang sepenanggungan. Berarti tulisan tersebut baru sebatas menjadi terapi jiwa. Sama sekali belum dapat disebut karya. Â
Lain halnya jika perasaan sudah dituangkan ke dalam bentuk puisi atau cerpen atau novelette atau novel. Barulah itu bisa disebut karya.
Seminimal apa pun kualitas penulisannya, paling tidak si penulis sudah berusaha mengolah rasa. Sudah pula berusaha memenuhi syarat dan ketentuan agar tuangan perasaannya layak disebut karya.
Ketika sedang dilanda suatu perasaan (misalnya senang, sedih, patah hati, galau, tertekan) dengan kuat, kita memang cenderung lancar menulis. Tak sekadar lancar menulis curhatan, tetapi lancar pula menggubahnya menjadi aneka karya, baik karya sastra maupun karya seni rupa.
Demikianlah kiranya yang saya pahami.Â
Lalu, bagaimana halnya dengan saya? Hmm. Ternyata lumayan susah untuk menjawabnya.
Mengapa? Karena tahun-tahun belakangan ini saya justru lebih sering menulis nonfiksi. Rasanya telah berabad-abad saya tidak menulis puisi ataupun cerpen. Sementara biasanya yang pakai adonan dan olahan perasaan adalah karya fiksi (kalau dituangkan dalam bentuk tulisan).
Jika dikaitkan dengan statemen bahwa seniman dan pujangga akan lebih produktif ketika mengalami gejolak dalam kehidupannya, tampaknya apa yang saya alami menyalahi statemen tersebut.
Kehidupan saya sebenarnya penuh kekisruhan jiwa, lho. Akan tetapi, mengapa saya justru tak produktif bikin puisi atau cerpen sebagaimana yang saya lakukan dahulu? Gawat. Jangan-jangan saya sudah tak lagi memiliki perasaan. Eh?
Namun, begini. Sedikit banyak saya merasakan bahwa tulisan-tulisan nonfiksi saya pun mengandung olahan rasa. Sebab sering pula akibat menanggung beban sebuah perasaan, akhirnya saya menuangkannya ke dalam bentuk tulisan nonfiksi.
Salah satu contohnya tulisan (yang sebenarnya merupakan publikasi pameran seni rupa) di personal blog saya berikut ini.
Saya sangat menyukainya. Maka saya lancar sekali ketika menyusun publikasi tentangnya. Rasa bahagia sang seniman (Ekwan Marianto) yang melandasi pembuatan karya-karyanya tersampaikan dengan baik kepada tiap pengunjung. Bahkan, bisa memicu pengunjung untuk meresponsnya dengan cara kreatif masing-masing.
Buktinya, terinspirasi karya Mas Ekwan saya bisa menulis lancar dan kawan saya asyik bermain-main dengan tustelnya. Saking asyiknya sampai menyuruh saya beberapa kali jadi modelnya. Kiranya yang begini ini nih, yang namanya pengolahan rasa menjadi karya-karya keren.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H