Pada Mulanya....Â
Di sebuah siang menjelang sore yang panas, puluhan tahun silam. Saya sedang gegoleran di lantai untuk mengademkan diri sepulang sekolah.Â
Sekonyong-konyong bapak mendekat dan berkata, "Kamu harus menguasai salah satu dari keterampilan ini, menjahit atau menulis."
"Heh?", seketika saya bangun dan duduk karenanya.
"Iya, kamu pilih salah satu. Kelak keterampilan itu bisa dipakai untuk cari duit dari rumah. Kalau kerja dari rumah kan bisa sambil momong anak."
Saya masih terdiam sebab belum ngeh alur percakapan. Bapak melanjutkan, "Nanti kalau kamu menikah, lalu punya anak. Mungkin harus berhenti kerja untuk ngurus anak di rumah. Kalau bisa menjahit dan menulis kan praktis. Bisa kerja dari rumah sebagai penjahit atau penulis."
Saya pun menatap bapak dengan setengah bingung dan setengah hendak protes. Namun, rupanya beliau bisa menebak isi pikiran saya, "Kamu tetap lanjut kuliah selepas SMA. Nikahnya nanti kalau sudah lulus kuliah. Bukan habis SMA."
Oalaaah. Lega hati ini mendengar penjelasan tersebut. Kirain mau dijodohin. Muehehehe ....
"Nah, kamu harus memilih, menjahit atau menulis. Mulai dari sekarang belajarnya. Jadi, nanti pas kuliah sudah mahir. Tinggal dikembangkan, lalu dipakai cari duit."
Saatnya Menentukan PilihanÂ
Antara paham dan tak paham dengan maksud wejangan bapak siang itu, saya kemudian memantapkan diri untuk belajar menulis.Â
Alasannya sederhana, sejak SD kemampuan menjahit saya, baik jahit tangan maupun jahit mesin, sama sekali tak menunjukkan adanya peningkatan.
Bahkan beberapa minggu sebelum percakapan tersebut, saya berkolaborasi dengan almarhum Bagus dalam hal mengerjakan PR mapel Sejarah dan mapel PKK.Â
Mapel Sejarah ada PR bikin resume sekian lembar dan wajib ditulis tangan. Mapel PKK disuruh bikin celemek masak, yang berarti ada proses bikin pola dan menjahit pakai mesin.
Bikin resume dengan tulisan tangan nan rapi tak jadi beban buat saya. Namun, tugas mapel PKK jelas membuat depresi. Hal sebaliknya terjadi pada Bagus. Jadi, memang tepatlah kalau kami berkolaborasi.
Tentu saja dengan fakta seperti itu, sungguh konyol jika saya memilih untuk menguasai keterampilan menjahit, pilihan yang realistis ya menulis.Â
Toh minimal saya sudah punya modal, yaitu hobi membaca dan aktif mengisi mading sekolah. Bukankah siap menjadi penulis berarti sebelumnya telah menjadi pembaca yang baik?
Konsekuensi Sebuah PilihanÂ
Tentu ada konsekuensi dari tiap pilihan yang kita ambil. Demikian pula halnya dengan pilihan saya untuk bisa menulis dan nekad berkolaborasi dengan Bagus. Hmm. Itu memang kolaborasi nekad sebab berujung ketahuan.
Bagaimana tidak ketahuan, kalau saat membuatkan tugas resume Bagus, saya tetap menuliskannya dengan gaya tulisan khas saya, sementara tulisan tangan Bagus jauh lebih jelek dan cara berbahasanya jelas berbeda dari saya.
Adapun nasib si celemek sami mawon. Susah dipercaya kalau celemek yang jahitannya super rapi yang saya kumpulkan ke guru merupakan hasil karya saya.
Alhasil, kami mesti ikhlas diberi sanksi. Mau gimana lagi, faktanya kami curang terstruktur, kok.Â
Untunglah tidak sampai disuruh mengulang, sebab para guru sungguh bijaksana. Bersedia memahami alasan di balik kolaborasi enggak bener itu. Hahaha!
Sekarang setelah saya pikir-pikir, peristiwa tersebut ibarat pemantik keberanian saya untuk berekspresi lewat hobi. Hobi saya membaca dan menuju menulis. Bukan menjahit. Ya sudah.
Saya bahkan siap ambil risiko dengan "menolong" almarhum Bagus demi kepuasan batin. Hehehe....Â
Toh saya tetap memperoleh keuntungan berupa beresnya tugas mapel PKK. Perkara nilai kami pada akhirnya dipangkas jadi masing-masing 6, padahal resume dan celemek kami sama-sama lebih berkualitas ketimbang hasil karya kawan-kawan sekelas, itulah konsekuensi yang mesti kami terima dengan lapang dada.
O, ya. Ada satu hal menarik di sini. Bagus tidak malu dengan talenta menjahitnya, padahal tatkala waktu itu, laki-laki yang pandai menjahit kerap diolok-olok. Mungkin ia bisa cuek karena justru sang ayah yang mewajibkannya bisa menjahit dan memasak.
Kalau direnungkan, ide ayah kami (beliau berdua sama-sama berprofesi sebagai guru) dan apa yang kami lakukan kok ya nyerempet-nyerempet kesetaraan gender dan emansipasi, ya? Ada benang merahnya.
Pada Akhirnya....Â
Belasan tahun dari peristiwa tersebut rancangan bapak terwujud. Yup! Saya yang semula kerja di sebuah penerbitan dan percetakan, pergi pagi pulang petang, tiba pada keputusan untuk berhenti kerja sebab kehadiran buah hati.
Namun, saya bukan tipe orang yang suka menghabiskan banyak waktu di depan TV. Maka di sela-sela urusan bayi dan rumah tangga, baca buku menjadi aktivitas pelumat penat. Plus menulis diary khusus terkait tumbuh kembang si bayi. Yang ternyata sekarang, tatkala saya baca ulang, isi diary-nya seru dan mengharukan.
Seiring bertambahnya usia dan kemandirian anak, waktu luang ternyata kian banyak. Hingga akhirnya saya kembali teringat pesan bapak untuk menjahit atau menulis dalam rangka cari duit. Amboi. Memang visioner pikiran beliau tatkala itu.
Pelan namun pasti, babak baru kehidupan pun dimulai. Saya yang semula bekerja memeriksa naskah orang, pada akhirnya mulai bikin naskah sendiri.
Selama kuliah dan kerja kantoran sebenarnya pun telah menulis. Namun, tidak aktif dan tidak bertujuan cari duit. Sekadar mengekspresikan segala rasa yang melintas di jiwa.
Nah! Saat tidak berstatus sebagai karyawan, lain ceritanya. Ternyata, oh, rupanya. Menulis di sela-sela rutinitas rumah tangga menyelamatkan saya dari kejenuhan. Sekaligus memelihara jiwa tetap waras. Kemudian ketika kembali pede kirim-kirim ke media massa, malah dapat menjadi bagian dari solusi finansial. Hmm. Dapetin cuan dari hobi sungguh sesuatu sekali rasanya.
Kian Ekspresif dan Makin Menikmati
Tahun demi tahun berjalan dan saya masih setia dengan hobi membaca dan menulis. Bila banyak perempuan tak lagi meneruskan hobi baca buku setelah menikah dan punya anak, saya masih sanggup konsisten membaca buku (Ini di luar kewajiban membaca job naskah dengan tujuan editing).
Terlebih kemudian saya gabung dengan IIDN (Ibu Ibu Doyan Nulis) dan berkesempatan kenal dengan seorang pemilik penerbitan yang sedang mencari naskah.Â
Pucuk dicinta ulam tiba, meskipun dengan nama pena, saya berhasil juga punya beberapa buku dalam genre popular. Ada yang berupa antologi pemenang lomba menulis juga.
Demikianlah adanya. Kiranya saya termasuk perempuan Indonesia yang menjadikan hobi sebagai sumber pendapatan dan sumber kebahagiaan.Â
Pastinya saya amat berterima kasih kepada bapak yang telah memberikan semacam pondasi sehingga saya bisa tiba di titik ini. Â
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H