Alasannya sederhana, sejak SD kemampuan menjahit saya, baik jahit tangan maupun jahit mesin, sama sekali tak menunjukkan adanya peningkatan.
Bahkan beberapa minggu sebelum percakapan tersebut, saya berkolaborasi dengan almarhum Bagus dalam hal mengerjakan PR mapel Sejarah dan mapel PKK.Â
Mapel Sejarah ada PR bikin resume sekian lembar dan wajib ditulis tangan. Mapel PKK disuruh bikin celemek masak, yang berarti ada proses bikin pola dan menjahit pakai mesin.
Bikin resume dengan tulisan tangan nan rapi tak jadi beban buat saya. Namun, tugas mapel PKK jelas membuat depresi. Hal sebaliknya terjadi pada Bagus. Jadi, memang tepatlah kalau kami berkolaborasi.
Tentu saja dengan fakta seperti itu, sungguh konyol jika saya memilih untuk menguasai keterampilan menjahit, pilihan yang realistis ya menulis.Â
Toh minimal saya sudah punya modal, yaitu hobi membaca dan aktif mengisi mading sekolah. Bukankah siap menjadi penulis berarti sebelumnya telah menjadi pembaca yang baik?
Konsekuensi Sebuah PilihanÂ
Tentu ada konsekuensi dari tiap pilihan yang kita ambil. Demikian pula halnya dengan pilihan saya untuk bisa menulis dan nekad berkolaborasi dengan Bagus. Hmm. Itu memang kolaborasi nekad sebab berujung ketahuan.
Bagaimana tidak ketahuan, kalau saat membuatkan tugas resume Bagus, saya tetap menuliskannya dengan gaya tulisan khas saya, sementara tulisan tangan Bagus jauh lebih jelek dan cara berbahasanya jelas berbeda dari saya.
Adapun nasib si celemek sami mawon. Susah dipercaya kalau celemek yang jahitannya super rapi yang saya kumpulkan ke guru merupakan hasil karya saya.
Alhasil, kami mesti ikhlas diberi sanksi. Mau gimana lagi, faktanya kami curang terstruktur, kok.Â