Celakanya, pelampiasan kekecewaan seorang Raffles sungguh-sungguh brutal. Keporakporandaan Keraton Yogyakarta dan dibuangnya Sri Sultan HB II ke Penang adalah hasil akhirnya. Hasil akhir yang merugikan Keraton Yogyakarta, tapi menguntungkan pihak Inggris Raya. Ibarat mendapatkan durian runtuh, tanah kelahiran Raffles pun bersiap menerima ratusan judul manuskrip milik Keraton Yogyakarta.Â
Sungguh. Itu adalah sebuah kisah yang sangat tragis, Jendral! Perihnya masih terasa meskipun dua abad telah berlalu.Â
Manuskrip Dipulangkan, PR Kita pun MenghadangÂ
Bangsa Indonesia, terkhusus warga Daerah Istimewa Yogyakarta, patut berbahagia karena pada 7 Maret 2019 lalu manuskrip yang dirampas dalam Geger Sepehi dikembalikan. Bukan dikembalikan dalam wujud fisiknya, melainkan dalam bentuk digital. Bukan pula seluruhnya, melainkan sebagian kecil saja.Â
Tapi tak jadi soal. Bagaimanapun hal itu merupakan bukti adanya itikad baik dari pemerintah Inggris. Yang sebelumnya telah dilobi dengan lumayan alot oleh Sri Sultan HB X, sejak masa pemerintahan Presiden Megawati. Duileee! Bayangkanlah betapa alotnya perlobian itu.Â
Maka wajar kalau Keraton Yogyakarta dan masyarakatnya merasakan euforia atas kepulangan puluhan manuskrip yang dirampas ketika Geger Sepehi (1812). Dan, euforia itu pun disertai embel-embel harapan. Yakni harapan bahwa naskah-naskah fisiknya segera dikembalikan ....
Hmm. Sejujurnya saat ini saya malah bersyukur sebab manuskrip fisiknya belum dikembalikan. Eit! Jangan buru-buru menuduh saya tidak nasionalis dan tak mau menghargai hasil karya nenek moyang. Justru sebaliknya, saya sangat peduli dengan manuskrip-manuskrip itu.Â
Bagi saya, yang terpenting adalah kondisi manuskripnya. Biarlah untuk sementara manuskrip itu tetap merantau di negeri orang dengan perawatan maksimal. Daripada dipulangkan ke negerinya sendiri, dengan konsekuensi tidak terawat secara maksimal.Â
Perlu diketahui, merawat naskah  kuno tidaklah mudah. Selain perlu ilmu khusus terkait dengan suhu dan tingkat kelembaban, butuh pula dedikasi tersendiri. Pokoknya rumitlah. Yang sejauh pengamatan saya, SDM kita yang mampu melakukannya masih amat terbatas. Demikian pula peralatannya yang mahal. Â
Menurut saya, sekarang lebih baik kita fokus dulu pada manuskrip yang telah berada di genggaman. Apa pun bentuknya. Yang terpenting, mari kelola dan manfaatkan sebaik-baiknya kandungan dari manuskrip-manuskrip tersebut. Kita pelajari isinya, kita pelajari korelasinya dengan situasi terkini. Untuk selanjutnya dimanfaatkan (diaplikasikan) dalam kehidupan kita pada masa sekarang ini. Sudah pasti dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu. Ini PR besar bagi kita.Â
Janganlah mengatakan "walaupun cuma dikembalikan dalam bentuk digital". Mari kita pandang dari sisi positifnya saja. Bukankah kita justru mesti berterima kasih sebab telah dibantu mendigitalkan puluhan manuskrip berharga itu? Hitung-hitung Kerajaan Inggris telah membuat kita hemat sekian banyak rupiah dan sekian banyak waktu yang diperlukan untuk mendigitalkan manuskrip-manuskrip tersebut. Iya 'kan?Â
Salam,Â