Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, dan hobi blusukan ke tempat unik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manuskrip Rampasan Geger Sepehi Dipulangkan, PR Kita pun Menghadang

5 April 2019   22:26 Diperbarui: 5 April 2019   22:46 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SEJAK tanggal 7 Maret - 7 April 2019 Keraton Yogyakarta menggelar pameran naskah kuno (manuskrip). Sungguh. Itu merupakan sebuah pameran yang menarik. Terutama bagi filolog, calon filolog, ataupun khalayak umum peminat manuskrip. 

Pameran yang diselenggarakan dalam rangka Mangayubagya (Peringatan) 30 Tahun Sri Sultan HB X bertahta itu bertempat di kompleks keraton. Tepatnya di Bangsal Pagelaran, yang terletak persis di tepi selatan alun-alun utara. Itu lho, bangunan keraton yang menghadap langsung ke arah Tugu Pal Putih. 

Pameran menarik ini diberi judul "Merangkai Jejak Peradaban Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat". Dan sesuai dengan judulnya, yang dipamerkan adalah benda-benda yang punya andil dalam membangun peradaban Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat (Negeri Yogyakarta). Yakni koleksi manuskrip. Baik manuskrip-manuskrip dalam bentuk digital (kita tinggal klak klik komputer/laptop saja untuk membacanya) maupun nondigital (masih berbentuk buku tebal yang fisiknya bisa kita raba). 

Mohon jangan salah sangka. Definisi manuskrip nondigital memang bisa diraba fisiknya. Akan tetapi, koleksi manuskrip yang dipamerkan itu tetap tak boleh disentuh pengunjung.

Demi mengantisipasi pengunjung yang tangannya jail, langkah preventif pun sudah dilakukan. Manuskrip-manuskrip nondigital ditaruh dalam sebuah kotak kaca yang rapat. Dan sesungguhnya, penempatan dalam kotak kaca itu juga untuk melindungi manuskrip dari debu dan suhu ruangan yang tak kondusif. 

O, ya. Selain koleksi manuskrip, di situ dipajang pula beberapa koleksi nonmanuskrip. Di antaranya contoh wayang kulit, lukisan-lukisan yang mengisahkan tentang peristiwa Geger Sepehi, dan imitasi ubarampe (benda-benda khusus) yang dipergunakan dalam acara penobatan Sri Sultan HB X pada tahun 1989 silam. 

Mengapa yang dipamerkan hanya imitasinya? Sebab ubarampe yang asli merupakan benda-benda sakral, yang tentunya tidak bisa diperlakukan sembarangan. Apalagi ubarampe yang asli terbuat dari emas. Jadi, mungkin demi alasan keamanan juga. Terlalu riskan untuk memajangnya di tempat umum. 

Peraturan yang Bikin Fokus 
Kiranya alasan keamanan pula yang menyebabkan adanya larangan membawa kamera dan gawai berkamera ke dalam ruang pameran. Mungkin dikhawatirkan timbulnya minat orang untuk mencuri koleksi-koleksi yang dipamerkan, setelah melihat foto-foto yang diunggah ke media sosial. Yeah! Dapat dimaklumi jika penyelenggara pameran tidak mau mengambil risiko besar seperti itu. 

Lalu, mengapa tas juga dilarang untuk dibawa masuk ke ruang pameran? Duileee. Bukankah jawabannya sudah sangat jelas? Bila membawa tas, apalagi kalau tasnya besar semacam ransel, dengan mudah seorang  pengunjung bisa menyelundupkan koleksi pameran yang diminatinya. Iya 'kan?

Meskipun kedengarannya konyol, hal seperti itu dapat saja terjadi. Sangat mungkin dilakukan oleh seseorang yang memang berniat mencuri.

Ambil hikmahnya saja. Paling tidak, tanpa tas gerakan kita di ruang pameran bisa lebih leluasa. Tidak berpotensi nabrak-nabrak ataupun menggores koleksi pameran tanpa sengaja. Yang jelas, tanpa ketiga benda terlarang itu kita bisa lebih fokus menyimak penjelasan dari para pemandu pameran. Tidak tergoda untuk berswafoto ria di dekat manuskrip. Haha! 

O, ya. Alat tulis boleh dibawa masuk. Jadi, kita bisa mencatat secara manual penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh para pemandu pameran. Nah, lho. Pameran ini memang keren. Bisa sekaligus mengajak pengunjung untuk sejenak bernostalgia dengan budaya mencatat pakai pena dan kertas. Ada benang merahnya 'kan? 

Manuskrip Itu Bukti Bahwa Nenek Moyang Kita Keren
Sejak paragraf pertama saya sudah menyatakan bahwa pameran ini menarik. Hingga Anda sekalian pasti bertanya-tanya. Semenarik apa? Koleksi manakah yang terutama membuatnya menarik? 

Menurut saya, seluruh manuskrip dan koleksi nonmanuskrip yang dipamerkan punya daya pikat masing-masing. Sebab faktanya, dari tiap koleksi yang dipajang kita bisa belajar banyak hal. Terutama yang berkaitan dengan budaya Jawa. Yang lebih spesifiknya tentang budaya Jawa ala Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. 

Minimal, usai mengunjungi pameran ini kita jadi sadar bahwa manusia-manusia Indonesia tempo doeloe bukanlah manusia-manusia yang tak memiliki peradaban. Bukan pula manusia-manusia yang buta huruf. Buktinya, mereka mewariskan sekian banyak manuskrip yang isinya membahas aneka macam perkara. Sementara manuskrip pastilah disusun dengan aksara. 

Nah, lho. Dengan fakta-fakta serupa itu, masihkah kita berani mengatakan bahwa nenek moyang kita buta huruf? Buta huruf aksara latin mungkin iya. Tapi pastinya, manuskrip-manuskrip yang ada merupakan bukti bahwa nenek moyang kita tidak buta huruf aksara Jawa kuno. 

Jangan pula kemudian berkomentar, "Ah, hanya tahu aksara Jawa kuno. Di mana letak kerennya? Apa pula manfaat manuskrip-manuskrip itu?" 

Lhadalah! Kalau memang tak ada nilainya, tentulah Gubernur Jendral Raffles dalam Geger Sepehi (1812) tidak memerintahkan para serdadunya untuk merampas ratusan judul manuskrip milik Keraton Yogyakarta. Yang selanjutnya, ratusan judul manuskrip itu diangkut ke daratan Inggris Raya sana. Hingga hari ini. Lebih dari dua abad kemudian. 

Sekilas Mengenai Peristiwa Geger Sepehi
Geger Sepehi adalah sebuah peristiwa memilukan sekaligus memalukan bagi Sri Sultan HB ll. Peristiwa tersebut telah menjadi lembaran kelam dalam perjalanan sejarah Keraton Yogyakarta. Betapa tidak? Tatkala itu isi Keraton Yogyakarta dikuras habis-habisan. Mulai dari kekayaan material (uang dan segala rupa perhiasan/benda berharga lainnya) hingga kekayaan intelektual (manuskrip, lukisan) dirampas tanpa ampun. 

Sampai-sampai raja yang berkuasa saat itu, Sri Sultan HB Il, mesti keluar istana dalam kondisi compang-camping. Konon kancing baju kebesarannya (yang terbuat dari logam mulia) pun ikut dijarah. Sungguh mengenaskan toh? 

Lalu, siapa yang meluluhlantakkan Keraton Yogyakarta dalam Geger Sepehi? De facto, serdadu Sepehi (Sepoy, India) beserta serdadu Inggris dan serdadu Eropa lainnya adalah pelaku di lapangan. Namun de yure, Gubernur Jendral Raffles adalah sosok yang bertanggung jawab atas peluluhlantakan Keraton Yogyakarta.  

Mengapa Raffles menyerbu Keraton Yogyakarta dengan sedemikian brutal? Sebab ia kecewa dan gusar pada Sri Sultan HB II yang menolak menyerahkan tahta. Alih-alih menyerahkan tahta. Sekadar diajak bekerja sama pun tak mau. Apa boleh buat? Sebuah penolakan memang selalu menerbitkan kekecewaan. 

Celakanya, pelampiasan kekecewaan seorang Raffles sungguh-sungguh brutal. Keporakporandaan Keraton Yogyakarta dan dibuangnya Sri Sultan HB II ke Penang adalah hasil akhirnya. Hasil akhir yang merugikan Keraton Yogyakarta, tapi menguntungkan pihak Inggris Raya. Ibarat mendapatkan durian runtuh, tanah kelahiran Raffles pun bersiap menerima ratusan judul manuskrip milik Keraton Yogyakarta. 

Sungguh. Itu adalah sebuah kisah yang sangat tragis, Jendral! Perihnya masih terasa meskipun dua abad telah berlalu. 

Manuskrip Dipulangkan, PR Kita pun Menghadang 
Bangsa Indonesia, terkhusus warga Daerah Istimewa Yogyakarta, patut berbahagia karena pada 7 Maret 2019 lalu manuskrip yang dirampas dalam Geger Sepehi dikembalikan. Bukan dikembalikan dalam wujud fisiknya, melainkan dalam bentuk digital. Bukan pula seluruhnya, melainkan sebagian kecil saja. 

Tapi tak jadi soal. Bagaimanapun hal itu merupakan bukti adanya itikad baik dari pemerintah Inggris. Yang sebelumnya telah dilobi dengan lumayan alot oleh Sri Sultan HB X, sejak masa pemerintahan Presiden Megawati. Duileee! Bayangkanlah betapa alotnya perlobian itu. 

Maka wajar kalau Keraton Yogyakarta dan masyarakatnya merasakan euforia atas kepulangan puluhan manuskrip yang dirampas ketika Geger Sepehi (1812). Dan, euforia itu pun disertai embel-embel harapan. Yakni harapan bahwa naskah-naskah fisiknya segera dikembalikan ....

Hmm. Sejujurnya saat ini saya malah bersyukur sebab manuskrip fisiknya belum dikembalikan. Eit! Jangan buru-buru menuduh saya tidak nasionalis dan tak mau menghargai hasil karya nenek moyang. Justru sebaliknya, saya sangat peduli dengan manuskrip-manuskrip itu. 

Bagi saya, yang terpenting adalah kondisi manuskripnya. Biarlah untuk sementara manuskrip itu tetap merantau di negeri orang dengan perawatan maksimal. Daripada dipulangkan ke negerinya sendiri, dengan konsekuensi tidak terawat secara maksimal. 

Perlu diketahui, merawat naskah  kuno tidaklah mudah. Selain perlu ilmu khusus terkait dengan suhu dan tingkat kelembaban, butuh pula dedikasi tersendiri. Pokoknya rumitlah. Yang sejauh pengamatan saya, SDM kita yang mampu melakukannya masih amat terbatas. Demikian pula peralatannya yang mahal.  

Menurut saya, sekarang lebih baik kita fokus dulu pada manuskrip yang telah berada di genggaman. Apa pun bentuknya. Yang terpenting, mari kelola dan manfaatkan sebaik-baiknya kandungan dari manuskrip-manuskrip tersebut. Kita pelajari isinya, kita pelajari korelasinya dengan situasi terkini. Untuk selanjutnya dimanfaatkan (diaplikasikan) dalam kehidupan kita pada masa sekarang ini. Sudah pasti dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu. Ini PR besar bagi kita. 

Janganlah mengatakan "walaupun cuma dikembalikan dalam bentuk digital". Mari kita pandang dari sisi positifnya saja. Bukankah kita justru mesti berterima kasih sebab telah dibantu mendigitalkan puluhan manuskrip berharga itu? Hitung-hitung Kerajaan Inggris telah membuat kita hemat sekian banyak rupiah dan sekian banyak waktu yang diperlukan untuk mendigitalkan manuskrip-manuskrip tersebut. Iya 'kan? 

Salam, 

Tinbe Jogja

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun