Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kunci "Move-on" dari Sumber Energi Berbahan Fosil

6 Oktober 2017   23:01 Diperbarui: 6 Oktober 2017   23:25 1336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

MATAHARI siang itu amatlah terik. Panasnya membakar kulit tubuh dan wajah. Sungguh. Panas hari itu adalah panas yang terasa menyengat maksimal. Terlebih jika mengingat, hari-hari sebelumnya berselimut mendung melulu.

Bagiku, yang kerap pusing bila kelamaan terpapar sinar cetar matahari, cuaca yang seperti itu tentu jadi momok tersendiri. Mencegahku untuk beraktivitas luar ruangan. Bahkan sekadar untuk mengambil jemuran kering. Daripada pusing cuma gara-gara ambil jemuran, lebih baik duduk manis di dalam rumah. Maksimal nongkrong di teras depan. Jemuran sampai jadi keripik ya biarkan sajalah.

Itulah sebabnya aku amat takjub melihat Mbah Tukul yang sedari tadi sibuk di bawah panasnya sang mentari. Luar biasa. Berpanas-panas dan baik-baik saja. Padahal, usiaku jelas jauh lebih muda daripada beliau.

Lalu, apa yang dilakukan Mbah Tukul? Hmmm. Sedari tadi beliau kulihat sibuk menimbun stok bahan bakar. Oops! Jangan berpikiran buruk dulu. Beliau tidak sedang melakukan tindak kriminalitas, kok. Sebab bahan bakar yang ditimbunnya murni milik pribadi, plus sedikit tambahan dari milik tetangga sekitar. Itu pun sudah seizin para tetangga yang bersangkutan. Maka dijamin tak bakalan bikin kisruh. Tak akan bikin guncang stabilitas harga bahan bakar nasional.

Ya, tentu saja begitu. Bahan bakar yang sedang ditimbun Mbah Tukul bukanlah BBM (Bahan Bakar Minyak). Bukan bahan bakar yang berbahan dasar fosil, melainkan berbahan dasar limbah kayu serta limbah pohon dan buah kelapa. Tepatnya Mbah Tukul siang itu sedang sibuk menjemur potongan-potongan kayu dan serbuk kayu (hasil gergajian). Limbah kayu tersebut merupakan sisa bahan, yang tempo hari untuk merenovasi kandang ayam milik tetangga. 

Selain limbah kayu, beliau juga menjemur aneka rupa bahan bakar lainnya. Ada reranting kecil pohon bambu (kami menyebutnya carang). Ada potongan dahan pohon yang tempo hari ditebang. Ada pula berbagai bagian dari pohon kelapa; mulai dari tempurung, sabut, hingga daun keringnya.

Saat tahu aku mengamatinya dari balik jendela kayu, beliau tertawa lebar. Lalu katanya, "Mumpung panas, Jeng. Semua ini dijemur supaya kemripik (artinya "seperti keripik" atau "kering betul"). Ben gampang nggo daden geni(Supaya mudah kalau untuk menyalakan api). Lumayan, Jeng. Bisa ngirit. Enggak usah keluar duit untuk beli gas."

Demi sebentuk kesopanan, saya bersiap merespons. Tapi belum juga saya sempat membuka mulut, Mbah Tukul melanjutkan bicara, "Lagi pula sekarang susah, Jeng. Gasnya makin mahal. Dicari juga makin sulit. Harus beli ke toko-toko yang jauh. Simbah ini 'kan jadi repot kalau mau beli. Tuh, sudah lama kompor gas Simbah nganggur."

Mendengar lanjutan curhatan tersebut, respons saya justru berupa senyuman lebar. Jangan salah sangka. Saya tak sedang bahagia di atas penderitaan Mbah Tukul. Senyuman lebar itu hanyalah kamuflase. Percayalah. Yang sesungguhnya terasa di hati saya adalah miris. Iya, miris sebab curhatan Mbah Tukul mengingatkan saya pada sesuatu yang rumit.

Sudah berulang kali Mbah Tukul curhat dengan tema serupa. Bahkan tak hanya beliau, hampir semua tetangga pernah curhat dengan tema serupa. Respons saya pun serupa. Yakni senyuman lebar. Mau bagaimana lagi? Tidak mungkin saya menjawab, "Tenang, Mbah. Kalau butuh gas melon, nanti saya belikan."

Saya toh tidak berlimpah uang dan waktu luang sehingga bisa menolongnya dengan cara heroik begitu. Mana mungkin saya mau mentraktir dan mencarikan gas melon yang kerap langka di pasaran? Lha wong saya sendiri tidak pernah membelinya, kok.

Lagi pula,  Mbah Tukul sudah menemukan solusinya sendiri. Beliau sudah membuktikan dapat survive tanpa BBM, terkhusus gas elpiji. Tanpa gas elpiji beliau terbukti tetap bisa mengepulkan dapur. Anglo dengan aneka rupa bahan bakar yang dijemurnya itulah yang jadi solusi.

Iya. Meskipun tanpa sadar, beliau itu telah berperilaku keren. Apa alasannya? Sebab telah mampu memanfaatkan potensi sumber energi baru dan terbarukan. Jadi boleh dibilang, telah sukses melepaskan diri dari ketergantungan pada sumber energi berbahan dasar fosil.  

Namun, Mbah Tukul adalah Mbah Tukul. Beliau itu produk masa lampau yang mengalami masa kejayaan tungku kayu bakar. Jadi boleh dibilang, perilaku kerennya itu sekadar terinspirasi oleh masa lalu. Dulu memasak dengan kayu bakar, ya tak ada salahnya kalau kembali memasak dengan kayu bakar. Meskipun definisi kayu bakar itu sendiri diperluas dengan aneka limbah kayu, carang, dan sisa-sisa pemanfaatan pohon kelapa.

Lain halnya dengan generasi di bawah beliau, yang tak mengalami masa kejayaan tungku kayu bakar sebagai peranti memasak. Karena paling lawas memasak dengan kompor minyak tanah, kemudian diganti dengan kompor gas yang jauh lebih praktis (tinggal ceklek langsung nyala),  tentu kesulitan bila mesti move on dari kepraktisan tersebut. Alhasil ketika gas melon langka di pasaran, ngedumelgara-gara gas elpiji pun menjadi camilan harian. Objek sasarannya ya pemerintah.

"Pemerintah itu maunya apa, sih?!! Dulu disuruh pindah ke gas melon. Sekarang sudah pakai gas semua, malah gasnya susah dicari!" Demikian inti dari ngedumel mereka, dari waktu ke waktu. Dan, makin panjanglah caci maki kepada pemerintah bilamana yang bete cari gas melon adalah pebisnis boga kecil-kecilan. Misalnya pemasok jajanan gorengan untuk angkringan-angkringan.   

Duh! Saya pikir-pikir, betapa tidak bahagianya mereka? Hidup mereka galau melulu karena gas melon. Sudah labanya tak seberapa, eh masih pula berbonus makan hati di banyak saat. Tapi mau tak mau saya rupanya sedikit terprovokasi. Iya. Pemerintah nih mesti bertanggung jawab. Pemerintah yang memulai, mestinya pemerintah pula yang menyediakan solusi. Demikian batin saya.

Kalau memang ketersediaan gas elpiji langka, ayolah segera beri solusi nyata. Kalau bahan bakar yang berasal dari fosil makin langka, segera saja sediakan bahan bakar alternatifnya. Segera rapatkan barisan untuk menyediakan bahan bakar dari sumber energi baru dan terbarukan. Yang komposisinya diperoleh dari bahan-bahan yang mudah didapat dan mudah distok ulang. Misalnya untuk keperluan memasak, masyarakat bisa digiring untuk mempergunakan bahan bakar dari briket arang tempurung kelapa atau biogas dari ampas pabrik tahu.  

Ngomong-ngomong, apa yang dimaksud dengan sumber energi baru dan terbarukan? Sumber energi baru dan terbarukan adalah sumber energi yang bisa diperbarui. Atau, bisa diperoleh kembali secara alami melalui proses yang berkelanjutan. Tentu dalam kurun waktu yang tak lama.

Sementara itu minyak tanah dan gas elpiji diolah dari pertambangan, melalui proses yang sangat lama (jutaan tahun), sehingga mustahil untuk distok ulang dalam waktu cepat. Nah. Sekarang silakan bandingkan saja durasi ketersediaan briket arang tempurung kelapa dengan minyak tanah atau gas elpiji. Sangat njeglek 'kan?

Namun jangan lupa, yang terpenting dari semuanya adalah soal sosialisasi ke masyarakat. Terlebih pada masa-masa awal. Tanpa sosialisasi yang baik, mustahil masyarakat akan legawamemanfaatkan bahan bakar nonfosil untuk memasak. Bukankah tak paham maka tak sayang?

Kiranya ketakpahaman inilah pula yang bikin tetangga saya, yang berprofesi sebagai pemasok gorengan ke angkringan-angkringan, menolak nasihat saya. Nasihat apakah? Yakni nasihat agar dia mengganti kompor gasnya dengan kompor khusus untuk briket arang tempurung kelapa; yang sesungguhnya  jauh lebih hemat dan efektif. Adapun penolakannya hanya dengan satu kalimat pendek, "Ribet, ah." Padahal kalau dia paham, kompor berbahan bakar briket arang tempurung kelapa jauh lebih hemat biayanya.

Fakta membuktikan, saat ini sebenarnya sudah banyak kalangan yang berupaya memproduksi bahan bakar yang ramah lingkungan (plus peranti untuk memasaknya). Yang berasal dari sumber energi baru dan terbarukan. Tapi sayang sekali, belum bisa semassal dan sepraktis peranti yang bahan bakarnya berasal dari fosil. Itulah sebabnya kalimat "Ribet, ah" tadi sungguh beralasan untuk disampaikan. Yeah! Apa boleh buat?

 Sekali lagi, sebelum mengajak masyarakat untuk optimal memanfaatkan sumber energi baru dan terbarukan, yang sangat perlu digaungkan adalah sosialisasi dan edukasi mengenai hal tersebut. Khalayak mesti disadarkan bahwa di sekitar mereka banyak sumber energi ramah lingkungan yang melimpah. Yang eman-eman bila tak dimanfaatkan. Sementara bila dimaksimalkan pemanfaatannya untuk kepentingan masyarakat bisa memperkokoh ketahanan energi nasional.

Selaku aktivis ibu-ibu kampung, saya melihat bahwa peluang sosialisasi dan edukasi terbuka lebar dalam pertemuan PKK, dasawisma, dan pengajian. Bila kontinu dilakukan, lambat laun banyak ibu yang akan tercerahkan. Dan, mereka bakalan siap untuk move on dari sumber energi fosil untuk memasak.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun