Lagi pula, Â Mbah Tukul sudah menemukan solusinya sendiri. Beliau sudah membuktikan dapat survive tanpa BBM, terkhusus gas elpiji. Tanpa gas elpiji beliau terbukti tetap bisa mengepulkan dapur. Anglo dengan aneka rupa bahan bakar yang dijemurnya itulah yang jadi solusi.
Iya. Meskipun tanpa sadar, beliau itu telah berperilaku keren. Apa alasannya? Sebab telah mampu memanfaatkan potensi sumber energi baru dan terbarukan. Jadi boleh dibilang, telah sukses melepaskan diri dari ketergantungan pada sumber energi berbahan dasar fosil. Â
Namun, Mbah Tukul adalah Mbah Tukul. Beliau itu produk masa lampau yang mengalami masa kejayaan tungku kayu bakar. Jadi boleh dibilang, perilaku kerennya itu sekadar terinspirasi oleh masa lalu. Dulu memasak dengan kayu bakar, ya tak ada salahnya kalau kembali memasak dengan kayu bakar. Meskipun definisi kayu bakar itu sendiri diperluas dengan aneka limbah kayu, carang, dan sisa-sisa pemanfaatan pohon kelapa.
Lain halnya dengan generasi di bawah beliau, yang tak mengalami masa kejayaan tungku kayu bakar sebagai peranti memasak. Karena paling lawas memasak dengan kompor minyak tanah, kemudian diganti dengan kompor gas yang jauh lebih praktis (tinggal ceklek langsung nyala), Â tentu kesulitan bila mesti move on dari kepraktisan tersebut. Alhasil ketika gas melon langka di pasaran, ngedumelgara-gara gas elpiji pun menjadi camilan harian. Objek sasarannya ya pemerintah.
"Pemerintah itu maunya apa, sih?!! Dulu disuruh pindah ke gas melon. Sekarang sudah pakai gas semua, malah gasnya susah dicari!" Demikian inti dari ngedumel mereka, dari waktu ke waktu. Dan, makin panjanglah caci maki kepada pemerintah bilamana yang bete cari gas melon adalah pebisnis boga kecil-kecilan. Misalnya pemasok jajanan gorengan untuk angkringan-angkringan. Â Â
Duh! Saya pikir-pikir, betapa tidak bahagianya mereka? Hidup mereka galau melulu karena gas melon. Sudah labanya tak seberapa, eh masih pula berbonus makan hati di banyak saat. Tapi mau tak mau saya rupanya sedikit terprovokasi. Iya. Pemerintah nih mesti bertanggung jawab. Pemerintah yang memulai, mestinya pemerintah pula yang menyediakan solusi. Demikian batin saya.
Kalau memang ketersediaan gas elpiji langka, ayolah segera beri solusi nyata. Kalau bahan bakar yang berasal dari fosil makin langka, segera saja sediakan bahan bakar alternatifnya. Segera rapatkan barisan untuk menyediakan bahan bakar dari sumber energi baru dan terbarukan. Yang komposisinya diperoleh dari bahan-bahan yang mudah didapat dan mudah distok ulang. Misalnya untuk keperluan memasak, masyarakat bisa digiring untuk mempergunakan bahan bakar dari briket arang tempurung kelapa atau biogas dari ampas pabrik tahu. Â
Ngomong-ngomong, apa yang dimaksud dengan sumber energi baru dan terbarukan? Sumber energi baru dan terbarukan adalah sumber energi yang bisa diperbarui. Atau, bisa diperoleh kembali secara alami melalui proses yang berkelanjutan. Tentu dalam kurun waktu yang tak lama.
Sementara itu minyak tanah dan gas elpiji diolah dari pertambangan, melalui proses yang sangat lama (jutaan tahun), sehingga mustahil untuk distok ulang dalam waktu cepat. Nah. Sekarang silakan bandingkan saja durasi ketersediaan briket arang tempurung kelapa dengan minyak tanah atau gas elpiji. Sangat njeglek 'kan?
Namun jangan lupa, yang terpenting dari semuanya adalah soal sosialisasi ke masyarakat. Terlebih pada masa-masa awal. Tanpa sosialisasi yang baik, mustahil masyarakat akan legawamemanfaatkan bahan bakar nonfosil untuk memasak. Bukankah tak paham maka tak sayang?
Kiranya ketakpahaman inilah pula yang bikin tetangga saya, yang berprofesi sebagai pemasok gorengan ke angkringan-angkringan, menolak nasihat saya. Nasihat apakah? Yakni nasihat agar dia mengganti kompor gasnya dengan kompor khusus untuk briket arang tempurung kelapa; yang sesungguhnya  jauh lebih hemat dan efektif. Adapun penolakannya hanya dengan satu kalimat pendek, "Ribet, ah." Padahal kalau dia paham, kompor berbahan bakar briket arang tempurung kelapa jauh lebih hemat biayanya.