RUPANYA telah sangat lama saya melibatkan udara dan cahaya Jogja, pada tiap tarikan napas saya. Sangat tak terasa, lho. Tahu-tahu sudah 25 tahun saya berdomisili di kota istimewa ini. Sejak saya masih ingusan tapi unyu, hingga sekarang jadi sosok dewasa yang complicated. Sejak bis kota jadi idola, hingga bis kota diabaikan keberadaannya. Sejak saya belum tercatat sebagai penduduk DIY, hingga kini saya ber-KTP kodya Jogja.
Iya. Mula-mula saya berstatus sebagai pelajar perantauan. Sebagai anak kos yang kadang kala nelangsa, akibat kiriman wesel dari kampung telat. Namun, beruntunglah saya. Kala itu induk semang kos dan pemilik warung nasi langganan merupakan orang-orang berhati malaikat. Saya tak diusir dari kamar kos meskipun telat bayar uang sewa kamar. Dan, si pemilik warung membolehkan saya kas bon dulu untuk makan. Nanti kalau wesel datang,baru dibayar. Alhamdulillah. Meskipun tak serius-serius amat dalam belajar, faktanya sikap kondusif mereka membuat saya tenang dalam belajar.
Saya yakin, banyak teman yang punya pengalaman serupa itu. Maka tak berlebihan bila dikatakan bahwa orang-orang biasa semacam induk semang saya dan pemilik warung nasi itu merupakan pahlawan. Pahlawan nyata bagi sekian banyak (calon) sarjana yang merantau di Jogja. Pada poin ini mesti diakui bahwa masyarakat Jogja memang baik hati dan tidak sombong. Namun saya tidak tahu, apakah saat ini masih ada pemilik warung nasi dan induk semang yang sebaik itu. Zaman telah berubah ‘kan?
Waktu memang melaju dengan cepat. Tentu saja dengan membawa banyak perubahan. Baik perubahan yang membahagiakan maupun perubahan yang menyedihkan. Selama kurun waktu 1992-2017, sejak awal menginjakkan kaki di Jogja hingga detik ini, saya pun melihat adanya perubahan-perubahan di Jogja. Mulai dari yang sifatnya sepele, remeh-temeh, hingga yang sangat serius.
Yang sepele itu misalnya yang terkait dengan fenomena Hari Untarto. Aha! Barangsiapa pada tahun ’90-an tinggal di Jogja, gemar mendengarkan radio, pasti tak asing dengan nama Hari Untarto. Jangankan remaja Jogja asli. Saya yang remaja perantauan saja tahu. Padahal pula, saya tak punya radio. Hanya kerap nebeng mendengarkan radio tetangga kamar kos. Atau, pas saya sedang makan di warung.
Siapakah Hari Untarto? Hmmm. Dialah The Legend. Haha! Tiap hari namanya mengudara berkali-kali semenjak pagi buta hingga tengah malam buta. Mengudaranya dalam acara kirim-kiriman salam dan lagu. Dia sebagai pengirim, sedangkan yang dikirimi selalu cewek-cewek. Pokoknya kalau sang penyiar bilang “Dari Hari Untarto di Biologi UGM” pasti kelanjutannya “buat A, B, C, ...” yang semuanya cewek. Fenomenal sekali ‘kan?
Sekarang tentu tak bakalan ada lagi sosok sejenis Hari Untarto. Yang menggombal lewat media kirim-kiriman lagu di radio. Pada era kekinian, media penggombalan adalah lewat medsos. Dapat dipastikan, ruang lingkupnya pun tak selokal The Legend Hari Untarto. Internet itu ‘kan mengglobal. Nah, lihatlah. Betapa hal sesepele fenomena Hari Untarto juga bisa menjadi penanda perubahan atmosfer Jogja?
Di samping fenomena Hari Untarto, masih ada hal-hal sepele lain yang menjadi penanda berubahnya Jogja. Di antaranya perihal hubungan antara mahasiswa dan angkringan. Dahulu angkringan susah dipisahkan dari mahasiswa perantauan. Terutama yang dana kehidupannya pas-pasan. Aih! Jangankan yang pas-pasan. Yang tidak pas-pasan pun menggilai angkringan. Padahal,angkringan yang dimaksudkan di sini adalah The Original Angkringan. Yang betul-betul sederhana bernuansa ndeso.
Maka tak mengherankan jika banyak mantan mahasiswa Jogja tahun ’90-an, yang merindukan angkringan. Dalam imajinasi mereka, kelak bila berkesempatan mengunjungi Jogja, nongkrong di angkringan akan menjadi salah satu agenda bernostalgia. Maklum saja. Tatkala itu angkringan adalah tempat makan sekaligus sarana nongkrong yang murah meriah plus hangat bersahabat.
Tapi kelihatannya, mereka alpa untuk memikirkan satu hal. Yakni lupa bahwa Jogja sudah banyak berubah. Memang sih, angkringan ndeso masih ada. Tapi lokasinya tidak lagi di sentra-sentra mahasiswa. Lokasinya sudah tergeser ke pinggiran kota. Mayoritas pengunjungnya adalah orang-orang kampung. Sementara kaum mahasiswa kekinian lebih memilih angkringan yang juga kekinian. Yakni yang dilengkapi dengan wifi dan lebih berkonsep kafe.
Tak ada yang salah kok, dengan semua itu. Bukankahkemajuan zaman memang tak terelakkan? Dibawa asyik saja. Lagi pula, tidak semua perubahan di Jogja itu buruk, kok. Contohnya perubahan Malioboro. Trotoar sebelah timur jalan yang dulu untuk parkir, kini diubah menjadi tempat nongkrong yang asyik. Menjadi lebih instagramable. Sebagai bukti, lihatlah foto berikut ini.
O, ya. Bicara mengenai Malioboro bikin saya terkenang pada Senisono. Duhai, penguasa orde baru. Mengapa dulu Senisono kaupugar, kaulebur dengan Gedung Agung? Sementara diri saya ini belum sempat menjejakkan kaki di situ. Yeah!
Hal sepele berikutnya--yang menjadi penanda berubahnya Jogja--adalah eksistensi pencopet. Alhamdulillah sekarang kaum pencopet tidak lagi merajalela. Seiring dengan punahnya bis kota, rupanya kian lemah pula eksistensi mereka. Mau mencopet siapa? Para penumpang bis kota sudah turun drastis, kok. Adapun di transjogja, suasananya kurang kondusif untuk mencopet.
Lihatlah. Betapa eksistensi pencopet dan popularitas bus kota di Jogja saling berkaitan erat. Dan, sadarkah Anda? Sebagai konsekuensi dari hampir punahnya bus kota, justru jalanan Jogja main dipadati oleh sepeda motor dan mobil pribadi. Karena hampir punah, jeda keberangkatan bus kota makin panjang. Akibatnya, para penumpang sangat kesal sebab perjalanan mereka terhambat. Kekesalan itu menumpuk dari hari ke hari. Menyebabkan mereka pada akhirnya membeli kendaraan pribadi; bagaimanapun caranya.
Alhasil ketika penjualan mobil dan sepeda motor kian merebak, Jogja beranjak menjadi kota yang akrab dengan kemacetan. Para pesepeda tanpa ampun terpinggirkan. Ya sudahlah. Terkoyak-koyaklah citra Jogja sebagai kota sepeda. Ketika kemudian pemkot Jogja punya kebijakan sego segawe, sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe (= bersepeda untuk ke sekolah dan ke tempat kerja), lumayan bermunculan komunitas pesepeda.
Namun sayang sekali, sego segawe tampaknya tak lagi digaungkan kencang. Dan selaku pesepeda aktif, saya masih merasa kurang nyaman tatkala bersepeda di jalanraya. Selintas ada rasa dianaktirikan, deh. Kontradiktif ‘kan bila mengingat sebutan Jogja sebagai kota sepeda? Kalau sebagai mantan kota sepeda sih, tidak masalah.
Masih ada lagi hal kontradiktif lainnya. Yakni yang terkait dengan julukan Jogja sebagai kota pelajar. Hmm. Bagaimana, ya? Jogja memang kaya universitas/perguruan tinggi dan sekolah. Dan, fakta itulah yangmenjadi daya tarik orang dari mana-mana untuk menuntut ilmu di Jogja. Tapi tahukah Anda, apa yang berlangsung di bawah permukaan? Di kampung tempat saya bermukim sekarang, tak jauh dari titik nol Jogja, banyak anak putus sekolah (mulai dari usia SD hingga SMA). Yang kuliah dapat dihitung dengan jari. Sedihnya saya yakin, hal demikian tak hanya terjadi di tempat saya berdomisili.
Yang lebih memilukan, sejauh pengamatan saya, penyebab utamanya bukan persoalan ekonomi melainkan persoalan mentalitas. Semangat belajar anak-anak yang putus sekolah itu sangat lemah. Tapi anehnya, mereka menuntut fasilitas moderen semacam sepeda motor dan smartphone. Tak peduli dengan kondisi keuangan sang orang tua.
Alih-alih memberikan pengertian, sang orang tua justru mengabulkan begitu saja tuntutan tersebut. Padahal orang tua yangbersangkutan, sebenarnya juga tak berduit sebab tak berpenghasilan tetap. Maka sawah-sawah warisan leluhur mereka yang menjadi korban. Kian hari kian terkikis habis demi tujuan hedonis. Sungguh pilu, bukan? Mereka termiskinkan—tepatnya memiskinkan diri-- di kampung sendiri.
Berdasarkan pada kenyataan tersebut, saya kok jadi membayangkan ada sebuah komunitas pemuda/mahasiswa yang punya perhatian khusus terhadap permasalahan tersebut. Yang mau kontinu memberikan motivasi agar anak-anak yang putus sekolah itu kembali terbangkitkan semangat belajar mereka. Dengan demikian, program pendataan anak putus sekolah yang dilakukan pihak kelurahan ada kelanjutannya. Tak sekadar didata tiap saat lewat dasawisma.
Yeah! Kalau dari segi pendidikan memang terasa ironis. Ada ketimpangan antara para pendatang dan penduduk asli Jogja (yakni penduduk asli yang kalangan ekonomi menengah ke bawah). Namun untungnya, masih ada jua sisa-sisa keistimewaan rakyat Jogja. Terutama dalam hal memelihara kelestarian budaya, yang entah bagaimanapun bentuknya. Misalnya saja yang baru-baru inidiperlihatkan oleh masyarakat kampung tempat saya berdomisili.
Tempo hari, dalam rangka memeriahkan Hari Kartini,orang sekampung bermusyawarah untuk mengadakan karnaval. Kostumnya bebas. Yang penting menyerempet tradisi jogja. Semangat yang saya tangkap, mereka sungguh-sungguh ingin Jogja selalu istimewa. Entah bagaimanapun makna keistimewaan itu menurut mereka.
Yang mengharukan, pasukan Bregodo dari kampungsebelah dengan sukarela ikut berpartisipasi. Padahal biasanya, pasukan Bregodo tersebut terlibat dalam karnaval-karnaval resmi. Mereka diundang oleh panitia festival kebudayaandan semacamnya. Maka keterlibatan mereka itu terasa istimewa. Saya pribadi--lagi-lagi--menilainyasebagai semangat untuk menjaga keistimewaan Jogja.
Ah, sudahlah. Rasanya tak bakalan ada habisnya kalau memperbincangkan Jogja. Jogja memang istimewa dan “istimewa”. Terlepas dari segala perubahannya yang bikin saya bahagia ataupun terluka, Jogja tetaplah menjadi kenangan teristimewa dalam hidup saya. Saya toh pernah jatuhcinta sekaligus patah hati di kota ini. Alhasil bagi saya, Jogja memang candu yang kontradiktif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H