Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jogja Itu Candu yang Kontradiktif

9 Mei 2017   01:11 Diperbarui: 9 Mei 2017   04:15 1622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

   

malioboro-5-5910b15152f9fdc23493257a.jpg
malioboro-5-5910b15152f9fdc23493257a.jpg

O, ya. Bicara mengenai Malioboro bikin saya terkenang pada Senisono. Duhai, penguasa orde baru. Mengapa dulu Senisono kaupugar, kaulebur dengan Gedung Agung? Sementara diri saya ini belum sempat menjejakkan kaki di situ. Yeah!

Hal sepele berikutnya--yang menjadi penanda berubahnya Jogja--adalah eksistensi pencopet. Alhamdulillah sekarang kaum pencopet tidak lagi merajalela. Seiring dengan punahnya bis kota, rupanya kian lemah pula eksistensi mereka. Mau mencopet siapa? Para penumpang bis kota sudah turun drastis, kok. Adapun di transjogja, suasananya kurang kondusif untuk mencopet. 

Lihatlah. Betapa eksistensi pencopet dan popularitas bus kota di Jogja saling berkaitan erat. Dan, sadarkah Anda? Sebagai konsekuensi dari hampir punahnya bus kota, justru jalanan Jogja main dipadati oleh sepeda motor dan mobil pribadi. Karena hampir punah, jeda keberangkatan bus kota makin panjang. Akibatnya, para penumpang sangat kesal sebab perjalanan mereka terhambat. Kekesalan itu menumpuk dari hari ke hari. Menyebabkan mereka pada akhirnya membeli kendaraan pribadi; bagaimanapun caranya.  

Alhasil ketika penjualan mobil dan sepeda motor kian merebak, Jogja beranjak menjadi kota yang akrab dengan kemacetan. Para pesepeda tanpa ampun terpinggirkan. Ya sudahlah. Terkoyak-koyaklah citra Jogja sebagai kota sepeda. Ketika kemudian pemkot Jogja punya kebijakan sego segawe, sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe (= bersepeda untuk ke sekolah dan ke tempat kerja), lumayan bermunculan komunitas pesepeda. 

Namun sayang sekali, sego segawe tampaknya tak lagi digaungkan kencang. Dan selaku pesepeda aktif, saya masih merasa kurang nyaman tatkala bersepeda di jalanraya. Selintas ada rasa dianaktirikan, deh. Kontradiktif ‘kan bila mengingat sebutan Jogja sebagai kota sepeda? Kalau sebagai mantan kota sepeda sih, tidak masalah.

Masih ada lagi hal kontradiktif lainnya. Yakni yang terkait dengan julukan Jogja sebagai kota pelajar. Hmm. Bagaimana, ya? Jogja memang kaya universitas/perguruan tinggi dan sekolah. Dan, fakta itulah yangmenjadi daya tarik orang dari mana-mana untuk menuntut ilmu di Jogja. Tapi tahukah Anda, apa yang berlangsung di bawah permukaan? Di kampung tempat saya bermukim sekarang, tak jauh dari titik nol Jogja, banyak anak putus sekolah (mulai dari usia SD hingga SMA). Yang kuliah dapat dihitung dengan jari.  Sedihnya saya yakin, hal demikian tak hanya terjadi di tempat saya berdomisili.

Yang lebih memilukan, sejauh pengamatan saya, penyebab utamanya bukan persoalan ekonomi melainkan persoalan mentalitas. Semangat belajar anak-anak yang putus sekolah itu sangat lemah. Tapi anehnya, mereka menuntut fasilitas moderen semacam sepeda motor dan smartphone. Tak peduli dengan kondisi keuangan sang orang tua. 

Alih-alih memberikan pengertian, sang orang tua justru mengabulkan begitu saja tuntutan tersebut. Padahal orang tua yangbersangkutan, sebenarnya juga tak berduit sebab tak berpenghasilan tetap. Maka sawah-sawah warisan leluhur mereka yang menjadi korban. Kian hari kian terkikis habis demi tujuan hedonis. Sungguh pilu, bukan? Mereka termiskinkan—tepatnya memiskinkan diri-- di kampung sendiri. 

Berdasarkan pada kenyataan tersebut, saya kok jadi membayangkan ada sebuah komunitas pemuda/mahasiswa yang punya perhatian khusus terhadap permasalahan tersebut. Yang mau kontinu memberikan motivasi agar anak-anak yang putus sekolah itu kembali terbangkitkan semangat belajar mereka. Dengan demikian, program pendataan anak putus sekolah yang dilakukan pihak kelurahan ada kelanjutannya. Tak sekadar didata tiap saat lewat dasawisma.  

Yeah! Kalau dari segi pendidikan memang terasa ironis. Ada ketimpangan antara para pendatang dan penduduk asli Jogja (yakni penduduk asli yang kalangan ekonomi menengah ke bawah). Namun untungnya, masih ada jua sisa-sisa keistimewaan rakyat Jogja. Terutama dalam hal memelihara kelestarian budaya, yang entah bagaimanapun bentuknya. Misalnya saja yang baru-baru inidiperlihatkan oleh masyarakat kampung tempat saya berdomisili. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun