Mohon tunggu...
Agus Suwanto
Agus Suwanto Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer

Pekerja proyek yang hanya ingin menulis di waktu luang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pengetahuan Agama, Sains, dan Humanisme

27 Oktober 2018   09:22 Diperbarui: 28 Oktober 2018   10:22 2080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengetahuan adalah sarana utama untuk kemajuan sebuah peradaban. Negara yang masyarakatnya memiliki kemampuan pengetahuan yang tinggi, akan membuat negara tersebut mampu mengatasi segala macam masalah, baik masalah alam, sosial, ekonomi dan budaya. Bahkan akan mampu membuat banyak inovasi untuk membuat kehidupan menjadi jauh lebih baik. Negara yang masyarakatnya memiliki pengetahuan yang tinggi akan menjadi negara maju, makmur dan damai.

Lalu, apa yang dimaksud dengan pengetahuan? Pengetahuan bisa diartikan sebagai berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.

Pengetahuan juga bisa diartikan sebagai informasi yang melekat di benak seseorang, dan merupakan kombinasi dari pemahaman dengan potensi yang dimiliki oleh informasi tersebut. Pada umumnya, pengetahuan memiliki kemampuan prediktif terhadap sesuatu sebagai hasil pengenalan atas suatu pola.

Karena pengetahuan manusia terus berkembang sebagai akibat banyakanya aneka persoalan kehidupan dan rasa keingintahuan manusia akan segala sesuatu yang membutuhkan jawaban, maka manusia membagi pengetahuan menjadi lebih spesifik, sesuai lingkup dan permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu, muncul banyak cabang pengetahuan seperti pengetahuan fisika, biologi, ekonomi, sosial, dan lain-lain. Cabang pengetahuan ini pun bisa jadi akan terus bertambah, sebagai akibat dari semakain kompleks permasalahan yang dihadapi dan rasa keingintahuan manusia.

 Namun, kalau dilihat dari permasalahan dan keingintahuan manusia, maka sebenarnya cuma ada dua cabang pengetahuan. Pertama, pengetahuan untuk mencari jawaban persoalan dan keingintahuan tentang etika dan moral. Kedua, pengetahuan untuk menjawab persoalan dan keingintahuan tentang masalah teknis.

Pengetahuan Agama, 'Pengetahuan = Kitab Suci x Logika'

Sejak munculnya agama-agama di muka bumi hingga abad pertengahan, maka boleh dikata bahwa sumber pengetahuan selalu datang dari agama. Kitab suci dijadikan rujukan untuk menjawab hampir semua pertanyaan mendasar kehidupan. 

Orang akan datang ke tokoh-tokoh agama, seperti pendeta, pastur, ulama atau biksu untuk mendapatkan jawaban sebuah pertanyaan yang belum ada jawabannya, atau untuk mendapatkan solusi dari masalah yang sedang dihadapi.

Pada era sekarang, di abad 21 ini pun, kitab suci masih menjadi andalan bagi banyak orang, terutama para pengikut untuk dijadikan sumber pengetahuan. Tentunya tidak semua jawaban bisa secara langsung dicomot dari kitab suci. Untuk mendapatkan jawaban secara utuh, dibutuhkan tafsir dari orang-orang yang berpengetahuan tentang kitab suci tersebut.

Jadi, pengetahuan menurut pandangan agamawan adalah bersumber dari kitab suci yang kemudian ditafsir oleh akal atau logika manusia. Formula utama pengetahuan adalah "Pengetahuan = Kitab suci x Logika". 

Jika seseorang menginginkan jawaban dari suatu pertanyaan yang penting, maka orang tersebut harus mencari dan membaca dari teks kitab suci, dan kemudian menggunakan logikanya untuk memahami arti sesungguhnya dari teks tersebut.

Misalnya seorang Kristen yang ingin mendapatkan jawaban tentang bentuk Bumi, maka dia akan meneliti seluruh teks kitab suci untuk mencari referensi jawaban yang relevan. 

Ketika dia menemukan cuplikan ayat dari kitab Ayub 13:13 yang tertulis, "untuk memegang ujung-ujung bumi, sehingga orang-orang fasik dikebaskan dari padanya", membuat orang tersebut berlogika bahwa bumi berbentuk datar seperti meja. Hal ini dikarenakan teks kitab suci menyebut bumi mempunyai sudut-sudut.

Namun, penganut Kristen yang lain menolak pandangan bumi datar ini. Dengan menunjukan teks kitab suci yang lain, Yesaya 40:22 yang menyebutkan bahwa 'Tuhan bertakhta di atas bulatan bumi', maka dapat disimpulkan bahwa bumi berbentuk bulat.

Begitu juga pendapat tentang Adam sebagai manusia pertama. Sama-sama mengandalkan kitab suci dan logika, banyak penganut agama samawi, baik Yahudi, Islam dan Kristen berpendapat bahwa Adam adalah manusia pertama di muka bumi ini. Akan tetapi ada juga sebagian yang berpendapat bahwa Adam bukanlah manusia pertama. Dia hanyalah manusia pertama yang mengenal Tuhan.

Dari perbedaan jawaban tersebut, bisa diartikan bahwa untuk mengasah pengetahuan, maka seseorang harus meluangkan banyak waktu mempelajari lebih banyak teks-teks kitab suci, dan melatih logikanya, agar mampu memahami teks-teks kitab suci dengan tepat.

Hingga detik ini, pengetahuan agama yang formulanya, 'Pengetahuan = Kitab suci x Logika' masih dianut oleh banyak orang. Bahkan sebagian dari mereka meyakini sebagai satu-satunya kebenaran dan mutlak. 

Meskipun beberapa pengetahuan yang disampaikan oleh para tokoh agama, khususnya tentang science dan teknologi cenderung menyimpang dan kadaluwarsa, namun masih dianggap sebagai sebuah kebenaran yang absolut oleh pengikutnya.

Selain itu, karena ada peran logika manusia di sini, maka banyak muncul perbedaan pengetahuan untuk satu topik yang sama. Hal ini terjadi karena memang kecerdasan akal manusia berbeda-beda, sehingga logika yang muncul pun berbeda, dan mengakibatkan pengetahuan yang disampaikan untuk satu teks kitab suci yang sama bisa berbeda pula.

Apalagi latar belakang sosial dan budaya serta kepentingan pribadi maupun golongan golongan ikut berperan. Maka untuk satu konteks yang sama dalam kitab suci, bisa menghasilkan pemahaman dan pengetahuan yang jauh berbeda. Bahkan bisa bertentangan.

Masing-masing pengikut dari pemahaman tersebut saling meyakini bahwa pengetahuan yang disampaikan oleh tokoh agama mereka yang paling benar. Hal inilah yang menjadi permulaan munculnya beberapa aliran dalam sebuah agama.

Pengetahuan Science, 'Pengetahuan = Data Empiris x Matematika'.

Orang-orang yang tidak sepakat dengan formula pengetahuan dari para agamawan dan lebih mempercayai ilmu pengetahuan, mengajukan formula pengetahuan yang berbeda, yaitu 'Pengetahuan = Data empiris x Matematika'. 

Artinya, kalau kita ingin mengetahui tentang sesuatu, maka harus mengumpulkan beberapa data empiris yang relevan, lalu menggunakan perangkat lunak 'matematika' untuk menganalisanya.

Misalnya untuk mengetahui bentuk bumi, maka kita bisa memulai dengan mengamati matahari, bulan dan planet lain dari beberapa lokasi di muka bumi. Ketika sudah didapat data pengamatan yang cukup, maka dengan ilmu matematika, khususnya trigonometry, kita dapat menyimpulkan tidak hanya bentuk permukaan bumi, namun juga struktur tata surya matahari.

Dalam prateknya, para ilmuwan dalam mendapatkan sebuah pengetahuan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk melakukan banyak observasi, eksperimen di laboratorium dan ekspedisi riset lapangan guna mengumpulkan sebanyak mungkin data. Selain itu para ilmuwan harus terus melatih keahlian matematikanya agar bisa menginterpretasi semua data dengan lebih baik.

Formula pengetahuan dari kalangan ilmuwan ini mampu membawa terobosan yang sangat besar di bidang ilmu astronomy, fisika, kimia, kedokteran, ekonomi, sosial dan bidang-bidang ilmu lainnya. Namun, formula pengetahuan ini tidak mampu memberi jawaban tentang arti dan nilai dari suatu tindakan.

Kaum agamawan akan dengan mudah mengatakan bahwa membunuh atau mencuri itu tindakan yang salah, karena kitab suci mengatakan demikian. Sementara, seorang ilmuwan yang mengandalkan formula 'Pengetahuan = Data empiris x matematika', tidak bisa memberikan penilaian tentang etika perbuatan. Tidak cukup data empiris dan tidak ada perangkat lunak matematika yang bisa membuktikan bahwa membunuh atau mencuri itu salah.

Sebuah peradaban tidak akan bisa bertahan tanpa pengetahuan tentang nilai etika. Untuk itu formula pengetahuan science harus beriringan dengan formula pengetahuan agama. Ketika mengahadapi masalah teknis, seperti menentukan bentuk bumi, membangun sebuah bangunan atau menyembuhkan suatu penyakit, kita bisa mengumpulkan data-data empiris dan kemudian mengalisa dengan secara matematis untuk mendapatkan solusinya. 

Namun, ketika berhadapan dengan masalah etika, seperti menentukan boleh atau tidak suatu tindakan seperti perceraian, aborsi dan homoseksualitas, maka kita akan mengacu ke kitab suci, sebagai dasar bagi pengetahuan agama.

Pengetahuan Humanisme, 'Pengetahuan = Pengalaman x Sensitifitas'.

Saat ini di negara sekular, terutama negara-negara barat yang tidak lagi mengandalkan agama dengan kitab sucinya sebagai sumber pengetahuan yang utama, memilih ideologi humanisme sebagai alternatif. Para panganut paham humanisme menyusun formula pengetahuan baru untuk menjawab tentang berbagai masalah etika dan moral. Formula tersebut adalah, 'Pengetahuan = Pengalaman x Sensitifitas'.

Jika kita ingin mengetahui jawaban tentang pertanyaan etika, maka dibutuhkan hubungan  antara pengalaman diri dan pengamatan diri terhadap hal yang dialami, melalui rasa kepekaan dari suara hati yang paling dalam, jujur dan murni. 

Pada prakteknya, pengembangan formula pengetahuan ini membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengumpulkan banyak pengalaman kehidupan, dan meningkatkan kepekaan diri agar bisa memahami dengan benar pengalaman yang telah dijalani.

Apa yang dimaksud dengan 'pengalaman'? Pengalaman bukanlah sebuah data empiris. Bukan terbuat dari atom, gelombang elektromagnetis, protein atau angka-angka. Sebaliknya, pengalaman adalah sebuah fenomena subjektif yang terbuat dari tiga hal utama, yaitu sensasi, emosi dan pikiran. Jadi, pengalaman adalah segala sesuatu yang dirasa (panas, dingin, kesenangan, ketegangan, dll), segala emosi yang menggelora (cinta, takut, marah, dll), dan segala pikiran yang muncul dibenak kepala.

Dan apakah itu sensitifitas? Ada dua hal. Yang pertama, memberi perhatian secara penuh terhadap sensasi, emosi dan pikiran yang muncul di dalam diri. Kedua, membiarkan perasaan sensasi, emosi dan pikiran tersebut mempengaruhi diri sendiri. Memang, untuk hal-hal kecil tidak mesti harus dibiarkan mempengaruhi diri, namun tetap harus terbuka terhadap pengalaman baru dan mengijinkannya untuk mengubah pandangan diri akibat pengalaman baru tersebut.

Pengalaman kehidupan dan sensitifitas membentuk suatu siklus lingkarang yang saling melengkapi. Seseorang tidak bisa merasakan mengalami sesuatu jika tidak mempunyai sensitifitas, dan tidak bisa juga mengembangkan rasa sensitifitasnya bila tidak menjalani berbagai macam pengalaman.

Contohnya, orang yang terbiasa minum kopi manis di pagi hari sembari sibuk membaca berita on-line, akan sulit untuk bisa menikmati sensasi dari nikmatnya rasa kopi pahit tanpa gula. Untuk itu, orang tersebut harus mengurangi kesibukan membaca berita dan fokus memberi perhatian pada rasa kopi yang pahit tersebut.

Setelah beberapa hari menjalani pengalaman minum kopi tanpa gula dan memberi perhatian terhadap setiap sensasi dari rasa kopi yang berbeda-beda, maka orang tersebut akan mendapati dirinya menjadi ahli dalam cita rasa kopi. Pengetahuan baru tentang cita rasa kopi telah didapatkan.

Pengetahuan yang mengandalkan pengalaman dan sensitifitas ini menjadi cikal bakal dari ideologi humanisme yang berperan mengantikan kitab suci dalam menjawab persoalan-persoalan etika dan moral. Orang tidak lagi mengatakan bahwa membunuh adalah salah karena kitab suci mengatakan demikian, namun karena memang dari sisi pengalaman dan perasaan sensitifitas yang timbul mengatakan bahwa membunuh adalah salah.

Dalam banyak kasus, pengetahuan agama dan pengetahuan humanisme terdapat perbedaan, bahkan pertentangan. Misalnya pengetahuan agama masih tegas mengatakan bahwa LGBT itu salah dan tidak boleh ada di muka bumi ini. 

Di lain pihak, menurut pengetahuan humanisme, LGBT tidaklah salah, karena orang yang mengalaminya bisa merasakan juga kedamaian dan rasa nyaman. Sementara menurut pengetahuan science, LGBT bukanlah suatu penyakit, hanya orientasi seksual yang berbeda, dan itu wajar menurut science.

Penutup

Adanya tiga macam pengetahuan di atas adalah sebuah keniscayaan yang harus diterima. Hanya saja, tingkat porsi penerapan masing-masing pengetahuan akan sangat menentukan kemajuan peradaban suatu kelompok masyarakat atau negara. Penerapan secara berlebih terhadap 'pengetahuan = kitab suci x logika' akan cenderung membuat masyarakat terjebak dalam lingkaran bola statis tafsir kitab suci. Dan ini akan menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Penulis berpendapat, jika elemen masyarakat tepat dalam menerapkan 'tiga pengetahuan', yang artinya akan fokus menerapkan pengetahuan science untuk menyelesaiakan persoalan teknis. Menerapkan pengetahuan agama untuk menyelesaikan persoalan etika, dan menerapkan pengetahuan humanis untuk menyelesaikan persoalan hubungan antar manusia, suku, golongan dan agama, maka negara kita, Indonesia akan jauh lebih cepat maju, beradab dan damai. Sekian.

Terinspirasi dari : Homo Deus A Brief History of Tomorrow oleh Yuval Noah Harari

Facebook.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun