Pada prakteknya, pengembangan formula pengetahuan ini membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengumpulkan banyak pengalaman kehidupan, dan meningkatkan kepekaan diri agar bisa memahami dengan benar pengalaman yang telah dijalani.
Apa yang dimaksud dengan 'pengalaman'? Pengalaman bukanlah sebuah data empiris. Bukan terbuat dari atom, gelombang elektromagnetis, protein atau angka-angka. Sebaliknya, pengalaman adalah sebuah fenomena subjektif yang terbuat dari tiga hal utama, yaitu sensasi, emosi dan pikiran. Jadi, pengalaman adalah segala sesuatu yang dirasa (panas, dingin, kesenangan, ketegangan, dll), segala emosi yang menggelora (cinta, takut, marah, dll), dan segala pikiran yang muncul dibenak kepala.
Dan apakah itu sensitifitas? Ada dua hal. Yang pertama, memberi perhatian secara penuh terhadap sensasi, emosi dan pikiran yang muncul di dalam diri. Kedua, membiarkan perasaan sensasi, emosi dan pikiran tersebut mempengaruhi diri sendiri. Memang, untuk hal-hal kecil tidak mesti harus dibiarkan mempengaruhi diri, namun tetap harus terbuka terhadap pengalaman baru dan mengijinkannya untuk mengubah pandangan diri akibat pengalaman baru tersebut.
Pengalaman kehidupan dan sensitifitas membentuk suatu siklus lingkarang yang saling melengkapi. Seseorang tidak bisa merasakan mengalami sesuatu jika tidak mempunyai sensitifitas, dan tidak bisa juga mengembangkan rasa sensitifitasnya bila tidak menjalani berbagai macam pengalaman.
Contohnya, orang yang terbiasa minum kopi manis di pagi hari sembari sibuk membaca berita on-line, akan sulit untuk bisa menikmati sensasi dari nikmatnya rasa kopi pahit tanpa gula. Untuk itu, orang tersebut harus mengurangi kesibukan membaca berita dan fokus memberi perhatian pada rasa kopi yang pahit tersebut.
Setelah beberapa hari menjalani pengalaman minum kopi tanpa gula dan memberi perhatian terhadap setiap sensasi dari rasa kopi yang berbeda-beda, maka orang tersebut akan mendapati dirinya menjadi ahli dalam cita rasa kopi. Pengetahuan baru tentang cita rasa kopi telah didapatkan.
Pengetahuan yang mengandalkan pengalaman dan sensitifitas ini menjadi cikal bakal dari ideologi humanisme yang berperan mengantikan kitab suci dalam menjawab persoalan-persoalan etika dan moral. Orang tidak lagi mengatakan bahwa membunuh adalah salah karena kitab suci mengatakan demikian, namun karena memang dari sisi pengalaman dan perasaan sensitifitas yang timbul mengatakan bahwa membunuh adalah salah.
Dalam banyak kasus, pengetahuan agama dan pengetahuan humanisme terdapat perbedaan, bahkan pertentangan. Misalnya pengetahuan agama masih tegas mengatakan bahwa LGBT itu salah dan tidak boleh ada di muka bumi ini.Â
Di lain pihak, menurut pengetahuan humanisme, LGBT tidaklah salah, karena orang yang mengalaminya bisa merasakan juga kedamaian dan rasa nyaman. Sementara menurut pengetahuan science, LGBT bukanlah suatu penyakit, hanya orientasi seksual yang berbeda, dan itu wajar menurut science.
Penutup
Adanya tiga macam pengetahuan di atas adalah sebuah keniscayaan yang harus diterima. Hanya saja, tingkat porsi penerapan masing-masing pengetahuan akan sangat menentukan kemajuan peradaban suatu kelompok masyarakat atau negara. Penerapan secara berlebih terhadap 'pengetahuan = kitab suci x logika' akan cenderung membuat masyarakat terjebak dalam lingkaran bola statis tafsir kitab suci. Dan ini akan menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.