Ketika Yohanes menulis : "Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan." Kemudian dilanjutkan dengan Firman menjadi manusia Yesus, maka pada saat itu Yohanes telah berpandangan bahwa bayi Yesus akan tumbuh menjadi manusia ateis. (Yoh.1)
Begitu juga ketika Yohanes dalam "penglihatannya" melihat Yesus berkata bahwa Dia adalah yang Awal dan Akhir (Wahyu.22:13), maka Yohanes sedang melihat Yesus yang ateis.
Yesus sendiri secara tidak langsung mengklaim dirinya Ateis ketika berucap "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada" (Yoh.8:58). Juga ketika Dia menjawab seorang perempuan yang bernama Marta "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepadaKu, ia akan hidup walaupun ia sudah mati" (Yoh.11:25).
Yesus yang berwujud manusia seperti kita, sepertinya tidak percaya adanya Tuhan yang harus ditakuti dan disembah. Maka dari itu, semua pengajarannya dan tindakannya datang dari pikiran dan ucapanNya sendiri. Dia mengajar langsung dari diriNya, tanpa harus menunggu 'wangsit dari atas'.
Yesus yang ateis juga 'nekat' melakukan dobrakan besar terhadap tradisi dan keyakinan yang telah dipegang teguh secara turun-temurun selama ribuan tahun oleh bangsa Yahudi. Yesus berpandangan bahwa hukum Taurat yang dipercaya berasal dari Tuhan sudah tidak cocok lagi dan harus diperbaiki.
Dia memang tidak meniadakan hukum Taurat, namun untuk mengkoreksinya. Yesus datang untuk menggenapi hukum Taurat. (Mat.5:21-48).
Atas dasar pikirannya sendiri dan bukan hasil wangsit dari atas, Yesus selalu mengawalinya dengan 'Aku berkata kepadamu' dalam setiap kali Dia mengkoreksi hukum Taurat. Artinya, bagi Dia, hukum taurat yang berasal dari Tuhan bukanlah sesuatu yang dianggap suci dan tak tersentuh. Dia menganggap dirinya lebih tinggi dari hukum Taurat.
Misalnya hukum Taurat tentang qisas, "Kamu telah mendengar firman : Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu".
Memang, permintaan Yesus tersebut akan sulit dipenuhi dalam kehidupan nyata sehari-hari. Namun, yang dimaksud bukanlah memberikan kedua pipi untuk ditampar. Manusia diajak untuk merenungkan kembali dan merubah sikapnya, bahwa perbuatan jahat tidak perlu dibalas dengan kejahatan, karena hanya akan menimbulkan kejahatan yang semakin besar dan tanpa henti.
Biarlah kejahatan di dunia diadili oleh hukum manusia yang berlaku, dan biarlah Tuhan yang mengadili di akhirat nanti.
Begitu juga dengan hukum Taurat yang mengatakan untuk mengasihi sesama namun boleh membenci musuh. Yesus mengkoreksinya dengan mengatakan untuk juga mengasihi musuh dan berdoa bagi mereka.
Ketika hukum Taurat membolehkan perceraian, Yesus mengkoreksinya dengan tidak membolehkan perceraian kecuali karena zinah. Dia menegaskan bahwa pasangan yang bercerai dan kemudian kawin lagi dengan orang lain, maka mereka telah melakukan zinah.
Sejatinya, apa yang dilakukan Yesus yang ateis terhadap hukum Taurat Tuhan, bukan sekedar mengkoreksi, namun justru Dia membawanya ke level moral yang lebih tinggi, agar manusia terbimbing ke arah kebenaran yang hakiki.
Ada hal lain yang secara fundamental juga di rubah oleh Yesus, yaitu membuat setiap orang bisa dekat dengan Tuhannya. Untuk itu, Dia mengajarkan dan mencontohkan cara berdoa dengan menyebut Tuhan dengan Bapa, dan meminta murid-muridNya juga menyebut Tuhan dengan sebutan Bapa dalam setiap doa, agar terasa lebih dekat.
*****
Selain ateis, sebagian orang juga berpandangan bahwa sebenarnya Yesus gagal dalam misinya. Dia gagal meyakinkan bangsa Yahudi bahwa Dialah Mesias yang sedang ditunggu.
Meskipun Yesus telah banyak melakukan pekerjaan-pekerjaan baik, seperti menyembuhkan berbagai macam penyakit, menyembuhkan kebutaan dan membangkitkan orang mati, namun hal itu masih belum mampu menarik mayoritas orang yahudi untuk percaya kepadaNya.
Alih-alih percaya, masyarakat Yahudi, terutama kaum Farisi malah menuduhNya telah menghujat Allah, karena telah menyamakan diriNya dengan Allah. Meski tidak pernah secara eksplisit mengatakan bahwa diriNya adalah Allah atau Anak Allah, namun kaum Farisi telah menyimpulkannya demikian melalui ucapan dan tindakan Yesus.
Selanjutnya, Yesus juga gagal saat membela dirinya di hadapan pilatus. Akhir dari kegagalan ini adalah cemoohan dan penderitaan yang dialami, mulai dari pemakaian mahkota duri, dipaksa memanggul salib dan memuncak pada penyalibanNya.
Pada saat kematiaanya di kayu salib, Yesus hanya mampu membuat beberapa ratus orang dari kaum yahudi yang percaya kepadaNya. Sementara, mayoritas yang lain hanya menganggap Dia hanyalah seorang manusia biasa yang telah melakukan kejahatan besar dan telah pula dihukum sesuai tradisi.
*****
Namun dari yang katanya 'gagal', ternyata Yesus telah berhasil menanamkan rasa percaya dan keyakinan yang sangat tinggi  kepada murid-murid terdekatNya. Para murid yang jumlahnya cuma puluhan orang percaya bahwa Yesus yang ateis itu adalah Mesias Anak Allah.
Terlebih lagi setelah para murid mengalami apa yang disebut "menerima Roh Kudus", mereka berubah menjadi orang yang jauh lebih cerdas, lebih teguh dan lebih berani dengan pendirian akan iman terhadap Yesus.
Sejarah menuliskannya, mereka rela mati demi membela dan mengabarkan Injil ke semua orang yang dijumpai di penjuru bumi. Mereka terus mewartakan Yesus Sang Firman yang karena kasihnya, merendahkan diri menjadi manusia dan mengorbankan diri untuk mati di kayu salib demi menebus dosa manusia.
Melalui pewartaan para murid, terungkap bahwa sejak kesalahan manusia pertama Adam, sehingga membuatnya terusir dari 'Eden', ternyata saat itu juga Dia telah mempunyai rencana untuk membawa keturunan Adam kembali menyatu denganNya.
Adalah Dia, yang selama ribuan tahun menyamarkan kedatangannya melalui nubuatan para nabi. Dia sejatinya adalah Anak Domba Agung yang disamarkan melalui ritual korban domba sebagai penebusan dosa.
Semua manusia berdosa dan tidak pantas di hadapan Dia, dan sebagai yang maha adil, selayaknyalah manusia dihukumNya. Namun, sebagai maha pengampun, Dia akan berkenan menghapus dosa manusia bila ada tebusan yang layak. Hal ini agar tidak bertentangan dengan sifat keadilanNya.
Tebusan yang layak demi penghapusan dosa manusia adalah juga dari manusia yang suci dan tidak berdosa. Â Akan tetapi, semua manusia tidak layak menjadi tebusan, karena mereka juga harus menanggung dosanya sendiri.
Karena tidak ada mahluk apapun termasuk manusia yang bisa menjadi tebusan dosa, maka dengan kasihNya, Dia sendiri yang datang ke dunia, menjadi manusia, dan rela berkorban untuk menjadi tebusan dosa.
Dengan demikian, manusia tidak perlu lagi melakukan ritual korban domba berulang-ulang, karena Dia yang akan menggantikan korban domba. Dengan begitu, korban penebusan dosa manusia cukup dilakukan sekali, tuntas dan selamanya.
Dia yang ateis telah mengajarkan pemahaman akan makna penebusan dosa, dari Dia yang maha adil, maha kasih dan maha ampun.
Melalui Dia sebagai korban penebusan dosa, yang diterima oleh Dia sendiri, untuk kemudian dijadikan dasar bagi Dia berkenan mengampuni dosa setiap manusia yang percaya. Dengan demikian pengampunanNya dan kasihNya tidak bertentangan dengan keadilanNya.
Bagaikan sebutir biji gandum yang harus jatuh ke tanah dan mati, agar bisa bertumbuh dan berbuah melimpah, begitu juga Dia yang harus mati di kayu salib, agar berbuah rahmat melimpah. Kematiannya sebagai penebus dosa, dan kebangkitanNya sebagai pemersatu kembali manusia ke dalam kasihNya.
Dialah Yesus, sang manusia ateis, manifestasi dari 'sang Maha' sendiri. Â Sekian.
Selamat merayakan Paskah.
Silahkan klik di sini untuk artikel lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H