Mohon tunggu...
Agus Suhariono
Agus Suhariono Mohon Tunggu... Konsultan - Bukan siapa-siapa

Tertarik meneliti hukum yang berlaku di Indonesia dari tinjauan filosofi, histori, teori dan dogmatik hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menakar Rasio Pembatasan Subyek Pemberi HT dalam Layanan Hak Tanggungan Elektronik

8 September 2019   23:53 Diperbarui: 8 September 2019   23:55 1990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dengan demikian pemberi HT tidak harus orang yang berutang atau debitur, akan tetapi bisa subjek hukum lain yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungannya.

2.   Pembatasan Subyek Pemberi HT

Sebagaimana uraian angka 1 diatas, telah jelas bahwa UUHT tidak memberikan batasan mengenai subyek Pemberi HT. Namun demikian di dalam prakteknya ditemui kendala mengenai pelaksanaan eksekusi pada obyek HT yang bukan milik debitor sendiri. Kendala tersebut membuat pemerintah merasa perlu untuk membatasi subyek pemberi HT, dengan mengutamakan Pemberi HT sekaligus sebagai debitor.

Penulis berusaha menakar rasio pembatasan subyek pemberi HT tersebut sebagai berikut :

a.   Adanya unsur cacat kehendak

Apabila Pemberi HT adalah debitor atas tanah miliknya sendiri tidak menimbulkan masalah, karena debitor sudah mengerti resikonya jika ia wanprestasi, tanah yang dijaminkan akan dilelang untuk pelunasan utangnya. Namun apabila pihak ketiga sebagai pemberi HT terdapat kemungkinan pihak ketiga tersebut tidak menyadari resikonya bilamana debitor wanprestasi, ditambah lagi apabila kesepakatan antara pihak ketiga sebagai pemilik tanah dengan debitor dalam meminjamkan tanahnya karena adanya ancaman/paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), penipuan (bedrog) dan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang merupakan bentuk cacat kehendak.

b.   Kedudukan Obyek HT Milik Pihak Ketiga Dalam Kepailitan Debitor

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU Kepailitan) dalam Pasal 1 angka (1) menyatakan bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur di dalam undang-undang ini.

Syarat agar seorang debitur dapat dinyatakan pailit diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan bahwa seorang debitur dapat dipailitkan apabila :

Mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditur.

Tidak membayar lunas sedikitnya 1 (satu) utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun