Ketiga unsur tersebut, merupakan syarat kumulatif yang artinya ketiganya harus terpenuhi agar dapat dinyatakan sebagai akta oktentik. Dengan pengaturan Pasal 1868 BW tersebut, akta PPAT tidak dapat dikategorikan sebagai akta otentik, karena tidak memenuhi unsur pertama, yaitu bentuknya ditentukan UU karena peraturan jabatan PPAT diatur dalam PP dan bentuk aktanya diatur dalam peraturan menteri, unsur kedua telah terpenuhi dengan diaturnya PPAT sebagai pejabat umum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1994 tentang Hak Tanggungan.
Untuk mengakomodasi agar akta PPAT yang akan dijadikan sebagai dasar pendaftaran tanah mempunyai bobot sebagai akta otentik, maka syarat mengenai bentuk akta otentik diperluas penafsirannya, yang diatur dalam Pasal 101 huruf a Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyatakan : "akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;" Â
Dengan perluasan penafsiran bentuk akta otentik tersebut maka, akta PPAT merupakan akta otentik.
Pendaftaran Akta PPAT Dalam Rangka Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, PPAT bertugas membuat akta mengenai perbuatan hukum tertentu yang obyeknya berupa tanah untuk dijadikan dasar pendaftaran tanah. Oleh karenanya dalam membuat akta, PPAT harus senantiasa berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, diantaranya mengenai syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW.
Setelah mengesahkan perbuatan hukum yang dilakukan para pihak yang dituangkan dalam akta yang dibuatnya, PPAT masih mempunyai kewajiban untuk menyampaikan akta yang dibuat itu kepada kantor pertanahan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari. Dengan ancaman diberikan sanksi/teguran apabila lalai dalam menyampaikan akta tersebut.
Dalam prakteknya saat ini penyampaian akta PPAT dibarengi dengan permohonan pendaftaran akta. Dari hal tersebut terdapat 2 perbuatan sekaligus, yaitu penyampaian akta yang merupakan kewajiban PPAT dalam menjalankan tugasnya, dan  sebagai pemohon yang bertindak selaku kuasa dari- dan mewakili pemilik/penerima hak.
B. Layanan HT-el
Kedudukan Hak Tanggungan Dalam UUPA
Hak Tanggungan merupakan istilah dalam Hukum Jaminan Nasional yang dimaksud oleh UUPA, yang sebelumnya belum dikenal, baik dalam Hukum Adat maupun dalam KUH Perdata. Dalam Pasal 51 UUPA ditentukan bahwa Hak Tanggungan dapat dibebankan kepada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan amanat Pasal 51 UUPA tersebut, maka diundangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT). Dalam Pasal 29 UUHT ditentukan bahwa dengan berlakunya UUHT, ketentuan mengenai Credietverband dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Jadi dengan diundangkannya UUHT tersebut maka Hak Tanggungan merupakan satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional yang tertulis.