Mohon tunggu...
Agus Setyadi
Agus Setyadi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Wartawan Banda Aceh dan Kuliah di komunikasi unsyiah

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Mereka Yang Hidup Dengan Darah, dan Matipun Karena Darah

10 November 2012   07:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:40 1741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Nunu yang mempunyai keinginan kuat untuk membantu anak-anak tersebut selalu menggelar acara donor darah bersama komunitas Darah Untuk Aceh yang ia dirikan pada Juni lalu.

Dalam catatannya, sudah ada seratusan anak thalasemia yang selalu membutuhkan darah. rata-rata anak-anak itu membutuhkan darah satu hingga tiga kantong setiap bulan untuk di transfusikan ke tubuh mereka.

Naziaturrahmah, enam tahun, merupakan salah seorang penderita thalasemia. Bocah kecil asal Beureunuen, Pidie ini memiliki tubuh yang kecil. Kulitnya hitam dan hidungnya pesek. Itu merupakan salah satu karakteristik dari penyakit yang terjadi akibat kelainan gen yang mengatur pembentukan dari rantai globin sehingga produksinya terganggu.

Gangguan itu mengakibatkan kerusakan pada sel darah merah yang pada akhirnya akan menimbulkan pecahnya sel darah tersebut. Selain itu, darah pada anak yang menderita penyakit ini juga cepat mati, sehingga mereka selalu butuh transpusi.

“Dulu Nazia melakukan transpusi darah sebulan sekali. Tapi sekarang karena limpanya sudah besar maka 15 hingga 20 hari sekali,” jelas Nasrullah, ayah Nazia dengan mata berlinang-linang.

Kesedihan Nasrul atas penderitaan anaknya hilang setelah mengetahui bahwa banyak anak-anak Aceh yang menderita penyakit itu. “Saya sangat sedih begitu dokter mendiagnosa anak saya menderita penyakit thalasemia. Tapi kesedihan itu hilang setelah kami kumpul bersama anak-anak yang menderita penyakit yang sama di rumah sakit,” kenangnya.

Meski tidak lagi dibalut rasa sedih, namun Nasrul tetap berharap adanya sukarelawan yang mau menyumbangkan darah untuk anak tunggalnya itu yang butuh darah saban bulan. “Kadang saya harus mencari darah dari teman-teman saya yang ada di Sigli karena di sini tidak cukup darah,” ceritanya.

Berbeda dengan Nazia. Aidil, 22 tahun, penderita thalasemia lainnya masih terlihat putih. Aidil menceritakan bahwa ia pertama mengetahui menderita penyakit itu sejak umur delapan tahun. Meski menderita thalasemia, kulit Aidil tetap masih putih dan hidungnya tetap mancung. Rawut wajahnya masih berseri-seri meski terlihat sedikit pucat. Tubuhnya juga panjang tidak seperti anak-anak penderita thalasemia lainnya.

“Saya begini karena transpusi darah teratur pada saat HB (Hemoglobin) enam atau tujuh,” kata Aidil dengan semangat.

Transfusi darah merupakan obat bagi mereka untuk dapat bertahan hidup. Waktu transfusi juga sangat berpengaruh bagi mereka. Jika transpusi pada HB di bawah yang disarankan oleh dokter atau minimal enam, maka limpa dan perut mereka akan membesar. Beban penderitaan yang begitu besar harus mereka tanggung.

Aidil mengetahui bahwa dirinya menderita thalasemia setelah di diagnosa oleh dokter di sebuah rumah sakit di Medan. Sebelumnya, tidak ada gejala-gejala thalasemia pada dirinya. Sekarang, dia berobat rutin di Rumah Sakit Zainal Abidin, Banda Aceh. Saban bulan, ia tetap harus mentransfusikan darah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun