Salah satu prinsip utama dari ICERD adalah pengakuan bahwa diskriminasi rasial tidak hanya berdampak pada individu tetapi juga pada komunitas dan budaya. Masyarakat adat sering kali mengalami diskriminasi sistemik yang mengakibatkan hilangnya budaya, bahasa, dan tanah mereka. Dalam konteks ini, ICERD memberikan kerangka hukum yang mendukung pengakuan hak-hak masyarakat adat dan perlindungan terhadap praktik-praktik budaya mereka.
 Statistik menunjukkan bahwa masyarakat adat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, sering kali mengalami marginalisasi. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, lebih dari 70% masyarakat adat di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada kerangka hukum seperti ICERD, implementasi di lapangan masih jauh dari harapan. Negara-negara anggota perlu berkomitmen untuk tidak hanya meratifikasi konvensi ini, tetapi juga menerapkan kebijakan yang mendukung pemenuhan hak-hak masyarakat adat secara efektif (BPS, 2020).
 Contoh kasus yang relevan adalah perjuangan masyarakat adat Dayak di Kalimantan, yang menghadapi ancaman terhadap tanah adat mereka akibat eksploitasi sumber daya alam. Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Dayak telah mengajukan gugatan hukum untuk melindungi hak atas tanah mereka berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam ICERD. Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya kerangka hukum internasional dalam memberikan perlindungan bagi masyarakat adat, meskipun tantangan dalam implementasinya masih ada.[13]
 Dalam konteks global, ICERD juga berfungsi sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran akan isu-isu yang dihadapi oleh masyarakat adat. Melalui laporan periodik yang disampaikan oleh negara-negara anggota kepada Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, masyarakat dapat mengawasi dan mengevaluasi kemajuan yang dicapai dalam penghapusan diskriminasi. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat adat untuk terlibat dalam proses ini dan menyuarakan kebutuhan serta tantangan yang mereka hadapi di tingkat internasional.
 Secara keseluruhan, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial merupakan alat yang sangat penting dalam perlindungan hak asasi manusia bagi masyarakat adat. Meskipun tantangan dalam implementasinya masih ada, konvensi ini memberikan harapan dan landasan hukum bagi masyarakat adat untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan melawan diskriminasi yang mereka hadapi. Negara-negara anggota perlu meningkatkan komitmen dan tindakan nyata untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat dihormati dan dilindungi sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam ICERD.[14]
 United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP)Â
 Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) diadopsi pada 13 September 2007, dan merupakan tonggak penting dalam pengakuan hak-hak masyarakat adat di seluruh dunia. UNDRIP terdiri dari 46 artikel yang menekankan pentingnya pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas tanah, sumber daya alam, dan budaya. Deklarasi ini menjadi dasar bagi banyak negara untuk merumuskan kebijakan yang lebih inklusif dan menghormati hak-hak masyarakat adat.
 Salah satu prinsip utama dari UNDRIP adalah pengakuan hak masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri. Hal ini mencakup hak untuk mengelola dan menggunakan sumber daya alam di wilayah tradisional mereka. Menurut Pasal 3 UNDRIP, "Masyarakat Adat memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Dengan demikian, mereka dapat bebas menentukan status politik mereka dan mengejar pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya mereka." Pengakuan ini sangat penting, mengingat banyak masyarakat adat di seluruh dunia sering kali terpinggirkan dan tidak memiliki akses yang adil terhadap sumber daya yang ada di tanah mereka.
 UNDRIP juga menekankan pentingnya partisipasi masyarakat adat dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka. Pasal 18 menyatakan bahwa "Masyarakat Adat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi mereka, melalui perwakilan yang mereka pilih sendiri." Ini menunjukkan bahwa partisipasi aktif masyarakat adat dalam proses politik dan sosial adalah kunci untuk memastikan bahwa hak-hak mereka dihormati dan dilindungi. Dalam banyak kasus, ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia terjadi ketika masyarakat adat tidak dilibatkan dalam keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.
 Statistik menunjukkan bahwa meskipun UNDRIP telah diadopsi, implementasinya masih menjadi tantangan di banyak negara. Sebuah laporan oleh Forum Ekonomi Dunia (2021) mencatat bahwa hanya 30% negara yang telah meratifikasi UNDRIP secara penuh dan mengintegrasikan prinsip-prinsipnya ke dalam hukum nasional mereka. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat diakui dan dilindungi secara efektif di seluruh dunia. Dalam konteks Indonesia, misalnya, meskipun terdapat pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan di lapangan.[15]
 Contoh kasus yang relevan adalah perjuangan masyarakat adat Dayak di Kalimantan, yang telah berjuang untuk mengklaim hak atas tanah mereka yang telah dirampas oleh perusahaan-perusahaan perkebunan. Meskipun UNDRIP memberikan kerangka hukum yang kuat untuk melindungi hak-hak mereka, banyak masyarakat adat masih menghadapi tantangan dalam mengimplementasikan hak-hak tersebut di tingkat lokal. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat kerangka hukum internasional yang mendukung, tantangan di lapangan sering kali memerlukan pendekatan yang lebih holistik dan kolaboratif antara pemerintah, masyarakat adat, dan pemangku kepentingan lainnya.