Walaupun dipertanyakan juga apakah begitu mendengar sosialisasi tentang kewirausahaan, langsung pesertanya dimasukkan daftar sebagai pengusaha baru.
Terlepas dari itu yang jelas selama ini, koordinasi dengan Kementerian dalam hal pengembangan wirausaha masih lemah dari pemerintah daerah. Dan inilah salah satu permasalahannya.Â
Sinergitas antara pemda dan Kementerian yang belum maksimal, sehingga koordinasi program dan kegiatan kewirausahaan belum berjalan seperti yang diinginkan. Padahal Kementerian KUKM adalah Leading Sektor dan Koordinator dalam hal Kewirausahaan Nasional.
Lemahnya koordinasi itu terlihat pada tindak lanjut program penumbuhan wirausaha di tingkat daerah. Hasil dari googling dengan kalimat ‘pemda 1000 wirausaha’, memperlihatkan ada beberapa daerah saja yang memiliki program pengembangan wirausaha di daerahnya.
Untuk tingkat provinsi ada Provinsi NTB dan Jawa Barat. Selebihnya adalah pemerintah kabupaten diantaranya; Ogan Ilir, Batang, Sinnjai, Flores Timur, Bekasi, Sidoarjo, Muara Enim, Sumenep, dan Kabupaten Wajo. Jadi tidak seluruh provinsi, kota dan kabupaten yang memprogramkan pengembangan wirausaha itu, paling tidak yang dilihat dari pemberitaan di media online.
Kemudian yang memiliki program pengembangan wirausaha itu juga bermacam-macam model pengembangannya, tidak ada keseragaman. Belum ada standar operasional prosedur yang bisa jadi panduan. Dari segi jumlah target wirausaha baru misalnya yang akan dibentuk ada perbedaan antar pemda dimana ada yang 1000, ada 2.000, ada 5.000 bahkan ada yang 100.000 wirausaha baru untuk Jawa Barat yaitu dalam 5 tahun capaian.
Dan untuk di daerah, keberlanjutan program juga tidak ada jaminan, karena ganti Gubernur atau Bupati, maka berganti pula kebijakan. Hal itu paling tidak terlihat di pemda Jabar. Program pencetakan 100 ribu wirausaha baru yang dilaksanakan sejak Gubernur Ahmad Heryawan, tahun 2019 pada masa gubernur Ridwan Kamil, ternyata program itu tidak terdengar lagi.
Dalam menumbuhkan semangat berwirausaha, pastinya juga dibutuhkan keterlibatan semua pihak dalam hal ini termasuk dunia pendidikan. Para penyelenggara pendidikan mulai dari usia dini hingga Perguruan Tinggi, diharapkan memberikan pengetahuan dan keterampilan wirausaha agar peserta didik mampu mandiri, menciptakan pekerjaan dan penghasilan bagi dirinya sendiri. Jangan sampai lembaga pendidikan terus diberikan sebutan oleh masyarakat sebagai pabrik penganggur, utamanya untuk SLTA dan perguruan tinggi.
Akan tetapi walaupun faktanya pengangguran terdidik terus bertambah dengan deret ukur, tetapi pemberian semangat untuk berwirausaha sepertinya tidak menjadi prioritas ataupun tidak menjadi mata pelajaran wajib bagi semua mahasiswa di setiap fakultas. Lebih-lebih lagi di tingkat SLTA, kebanyakan lulusan menjadi linglung, tidak memiliki arah, karena tidak dibekali dengan keterampilan membuat peta ataupun rencana hidup (life plan) serta keterampilan dalam membuat rencana usaha (bussiness plan). Jadi ini juga salah satu masalah, sehingga kalau angka pengangguran begitu tingginya di kalangan tenaga kerja terdidik, merupakan sebuah kewajaran.
Fakta itu juga didukung oleh mental dari sebagian besar orang tua, yang selalu menginginkan anaknya agar bisa bekerja kantoran, dan bisa membangun karir dan memiliki rumah di daerah perkotaan. Bahkan banyak juga orang tua yang kita dengar akan siap ‘membelikan’ anaknya pekerjaan kalau ada peluang untuk itu.
Maka dengan perkembangan upaya penumbuhan wirausaha seperti itu The Global Entrepreneurship and Development Institute (The GEDI Institute) dalam Laporan terbarunya (The Global Entrepreneurship Index 2019) menepatkan Indonesia pada urutan ke 75, dengan sekor 26.0 jauh dibawah Malaysia misalnya yang berada pada rangking ke-43 dengan sekor 40.1.